Tuturpedia.com – Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra mengatakan presiden dan wakil presiden dibolehkan untuk berkampanye, baik Pilpres maupun Pileg.
Hal ini merujuk aturan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Pemilu saat ini.
Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI ini mengatakan, presiden bukan pejabat negara yang dilarang kampanye.
“Sebab, Pasal 280 UU Pemilu merinci pejabat negara yang dilarang kampanye terdiri dari ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya,” ujar Yusril dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Dia juga memuat Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu, yang secara tegas menyatakan “Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye.” Pasal 281 UU itu mengatur syarat-syarat pejabat negara dan presiden dan wakil presiden yang akan berkampanye, antara lain harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
“Jadi presiden dan wakil presiden boleh kampanye, baik mengkampanyekan diri mereka sendiri kalau menjadi petahana, maupun mengkampanyekan orang lain yang menjadi capres dan cawapres. Boleh juga kampanye untuk parpol peserta Pemilu tertentu. Ketentuan lebih lanjut bagi presiden dan wakil presiden yang akan kampanye diatur oleh Peraturan KPU,” tandasnya.
Yusril Tegaskan Presiden juga Boleh Memihak
Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) ini melanjutkan, apabila presiden boleh kampanye, maka secara otomatis juga dibolehkan memihak salah satu paslon dalam Pilpres 2024.
“Ya, kalau presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu yang dikampanyekannya. Masa orang kampanye tidak memihak,” terangnya.
Dia menegaskan peraturan UU tidak menyatakan presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Sebab, keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955.
“Waktu itu kita menganut sistem Parlementer. Sebagai kepala negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai kepala pemerintahan, yang kala itu jadi tugas Perdana Menteri Burhanudin Harahap. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955,” tegas Yusril.
“Ini adalah konsekuensi dari sistem presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, serta jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” lanjut dia.
Apabila ada pihak yang masih menghendaki presiden netral dan tidak boleh kampanye, serta memihak, maka menurut Yusril jabatan presiden mestinya hanya 1 periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua.
“Itu memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula UU Pemilu harus diubah kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Jokowi tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” tutur Yusril.
Etis atau Tidak Bergantung Penafsiran
Sementara terkait persoalan presiden yang dianggap “tidak etis,” hal ini menurutnya bergantung pada penafsiran dari sisi mana etis itu dibahas.
Kata Yusril, apabila etis dimaknai sebagai norma mendasar, yang menuntun perilaku manusia dan kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan UU Pemilu.
Tetapi apabila etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil, dan seterusnya. Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi.***
Penulis: Angghi Novita
Editor: Nurul Huda
Respon (1)