Jakarta, Tuturpedia.com — Rencana pemerintah mengucurkan dana Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) Bank Indonesia ke bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) atau bank BUMN tengah menjadi sorotan tajam. Kamis (18/09/2025).
Meskipun bertujuan mulia untuk menggerakkan ekonomi, Indonesian Audit Watch (IAW) memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa menjadi “bom waktu fiskal” jika tidak dikelola dengan benar.
“Uang rakyat jangan jadi eksperimen elit tanpa fundamen juridis,” tegas Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW, dalam keterangan pers yang diterima awak media.
Belum Realisasi, Tapi Peringatan Sudah Diberikan
Iskandar mengungkapkan, hingga saat ini belum ada bukti fisik atau dokumen resmi yang menunjukkan bahwa dana Rp 200 triliun tersebut sudah benar-benar masuk ke rekening bank-bank BUMN seperti BRI, Mandiri, BNI, BTN, dan BSI.
“Artinya, ini masih di tahap ‘akan’, bukan ‘sudah’,” ungkapnya.
Karena itu, IAW mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan lima poin penting sebelum kebijakan jumbo ini direalisasikan, agar niat baik tidak berujung pada blunder fiskal.
Harus Masuk APBN
Dana sebesar Rp 200 triliun adalah uang negara yang harus mendapat persetujuan DPR dan tercantum dalam APBN. IAW juga mengingatkan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2014-2016 menunjukkan bahwa penempatan dana SAL seringkali tidak transparan.
Transparansi dan Laporan Real-Time
Penggunaan dana ini harus memiliki dashboard dan laporan yang bisa diakses publik secara real-time.
“Jangan hanya bilang ‘untuk dorong kredit’, tapi tidak jelas siapa yang dapat,” tambahnya.
Temuan BPK pada 2019 dan 2021 juga menyoroti lemahnya kontrol pemerintah atas penggunaan SAL.
Bukan untuk Konglomerat
IAW memperingatkan agar dana ini tidak justru dinikmati oleh korporasi besar. Tanpa batasan tegas, bank-bank BUMN cenderung lebih suka memberikan kredit ke perusahaan tambang atau properti daripada ke petani, nelayan, atau UMKM yang seharusnya menjadi target utama.
BPK Wajib Turun Sejak Awal. Pengawasan harus dilakukan sejak dini. Selama ini, audit BPK seringkali baru keluar setelah skandal mencuat.
“LHP BPK 2020 menemukan bahwa pemindahbukuan dari SAL tidak selalu diikuti pertanggungjawaban yang jelas,” ujar Iskandar.
Libatkan DPR
Sesuai UUD 1945, pengelolaan keuangan negara harus melibatkan DPR sebagai perwakilan rakyat. IAW menekankan bahwa kebijakan sebesar ini tidak boleh dijalankan secara sepihak.
Kesimpulan: Hindari Pemutihan Kredit Macet
Iskandar menutup pernyataannya dengan peringatan keras: jika tidak dikawal dengan benar, Rp 200 triliun ini berisiko menjadi “pintu masuk pemutihan besar-besaran” untuk kredit macet di bank-bank BUMN.
“Rakyat mau Pak Purbaya sukses. Tapi sukses yang sah, transparan, dan terasa ke bawah,” pungkasnya, mendesak pemerintah untuk mengembalikan uang negara ke jalur konstitusi.
Penulis: Lilik Yuliantoro || Editor: Permadani T.