Jateng, Tuturpedia.com – Tak main-main upaya yang dilakukan oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto dalam memperjuangkan suara akar rumput.
Tidak hanya di bidang kesehatan saja, namun juga menyasar ke kaum buruh. Seperti halnya yang menjadi perbincangan publik saat ini, yakni terkait dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK).
Lebih lanjut, Edy sapaan akrab Anggota Komisi IX DPR RI, menyampaikan bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 yang merupakan perubahan dari PP 26/2021 tentang pengupahan menandakan adanya kepastian kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK) untuk 2024.
Sebelumnya, pemerintah daerah beberapa waktu lalu telah diminta untuk mengumumkan UMP pada 21 November dan UMK pada 30 November 2023. Setelah provinsi mendeklarasikan berapa kenaikan upah minimum, menurutnya wajar jika pro kontra terjadi.
“Perlu diingat, dalam menentukan UMP 2024 ada tiga variabel, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan α. Indeks tertentu ini sudah dijelaskan oleh Dewan Pengupahan Daerah, yakni merupakan pertimbangan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata atau median upah yang memiliki skor antara 0,10 sampai 0,30. Penghitungan ini sudah termaktub dalam Pasal 26 dan Pasal 26A pada PP 51/2023,” ucapnya, seperti disampaikan pada awak media, Selasa (28/11).
“Dan tiga variable yang menjadi penentu ini akan menjadi penyeimbang antara keberlangsungan usaha dan kepastian pekerja. Kenaikan upah minimum ini diharapkan tidak menekan pertumbuhan ekonomi yang mulai bangkit pascapandemi Covid-19. Di sisi lain juga mengakomodir kebutuhan hidup masyarakat dengan adanya inflasi,” lanjutnya.
Dirinya juga menjelaskan, yang perlu diperhatikan, adanya PP 51/2023 ini hanya mengukur kenaikan upah minimal.
Di lapangan, hal ini belum menjamin upah riil yang didapatkan buruh akan naik. Terlebih jika nanti pada 2024 inflasi tidak bisa ditekan.
Bahkan, kenaikan upah minimum sebesar 1,2 persen hingga 7,2 persen akan head to head dengan barang mahal dan menurunnya daya beli masyarakat.
Seandainya kenaikan UMP yang sekarang ini ditetapkan ternyata nilainya lebih rendah dari inflasi 2024, bisa jadi kesejahteraan buruh turun.Â
“UMK menjadi harapan kita sekarang setelah UMP ditetapkan pada 21 November lalu. UMK akan diumumkan bupati atau walikota pada 30 November nanti. Kepada pemerintah tingkat II saya mendorong dalam penetapan memperhatikan indeks α dengan nilai 0,30. Tentu agar penyesuaian upah di tingkat kabupaten/kota pada 2024 akan lebih tinggi sebagai antisipasi inflasi tahun depan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menyampaikan langkah selanjutkan diharapkan agar pemerintah tidak mengeluarkan aturan, melainkan jua mengendalikan harga kebutuhan pokok yang meroket.
Terlebih pada saat ini harga sembako pun sudah makin melonjak. Ditambah dengan harga hunian yang menjadi tempat bernaung rakyat juga tidak murah.
“Pemerintah pusat dan daerah harus kendalikan ini. Tali kemudi tak boleh lepas. Kalau gagal mengendalikan harga barang-barang kebutuhan pokok maka daya beli buruh turun, yang artinya kesejahteraan mereka juga turun. Barang dan jasa yang dihasilkan pengusaha pun tidak terserap,” ungkapnya kembali.
Edy menambahkan, di sisi lain ketentuan pengupahan pada PP 55/2023 diharapkan dapat menciptakan kepastian bagi dunia usaha.
Kesenangan tidak hanya untuk penerima kerja, tapi juga pemberi kerja. Aturan ini juga harus memberikan angin segar bagi pengusaha dan pelaku industri.Â
“Kenaikan UMP yang sudah diumumkan dianggap kurang oleh sebagian orang sehingga ada tuntutan kenaikan UMP hingga 15 persen. Perlu diingat proses keberlanjutan usaha juga harus menjadi perhatian. Jangan sampai kenaikan upah tinggi, tapi nantinya industri redup.”
Sebab, dia menilai jika pengusaha ini hengkang, justru terjadi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa terjadi.
“Menyampaikan aspirasi dibolehkan di negeri ini. Aksi demo di berbagai daerah untuk menolak nominal kenaikan UMP merupakan hal yang wajar. Selain demo, opsi lain yang bisa dilakukan adalah bertarung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pihak pekerja atau organisasi pekerja dapat menguji kenaikan UMP saat ini ke PTUN. Lalu nanti apapun hasil yang diputuskan pengadilan, semua harus menjalankan,” jelasnya kembali.
Tidak Ada Main Mata
Selain itu, Edy juga menjelaskan terkait UMP dan UMK yang ditetapkan untuk mereka yang masa kerjanya kurang dari satu tahun.
Pemerintah pusat dan daerah harus perketat pengawasan. Jika ada yang nakal, misal menetapkan upah minimal ini kepada mereka yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, wajib disemprit.
Dia menyebutkan sanksi ini harus tegas dan pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, upahnya diatur dalam struktur skala upah.
“Saya, bicara demikian karena masih banyak pengusaha yang tidak memiliki struktur skala upah. Akhirnya pengupahan bagi pekerja jadi sembarangan. Ini harus disosialisasikan sampai tingkat pekerja yang mendapatkan haknya. Masih ada yang mencoba nakal, tapi harusnya pengawasan tidak boleh main-main. Dan Gubernur harus berani beri sanksi pada pengawas ketenagakerjaan yang bandel dan suka main mata dengan pengusaha,” bebernya.
“Pecat jika terbukti tidak mengawasi dan abai dengan laporan pekerja. Di kantor gubernur, pos pelanggaran pengupahan harus dibuka. Terima dan selidiki setiap laporan. Ini semua bisa terjadi jika pejabatnya dekat dengan buruh. Temui lansung para pekerja dan serikatnya. Dengarkan mereka dan telusuri kebenarannya. Tidak hanya anteng mendengar laporan dari pengawas ketenagakerjaan,” tegasnya.***
Kontributor Jawa Tengah: Lilik Yuliantoro
Editor: Nurul Huda