Blora, Tuturpedia.com – Di Blora, hukum tampaknya bekerja cepat ketika yang dicari adalah kambing hitam, namun melambat ketika yang dipertaruhkan adalah martabat perempuan. Kasus dugaan salah tangkap pelaku pembuangan bayi yang disertai pemeriksaan intim paksa hingga merusak organ intim korban kembali menjadi tontonan publik tentang bagaimana keadilan bisa berubah menjadi sandiwara, Minggu (21/12/2025).
Tanpa prosedur hukum yang sah, tubuh seorang perempuan dijadikan “barang bukti”. Pemeriksaan intim dilakukan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk memenuhi asumsi. Ironisnya, ketika luka fisik dan mental korban menganga, negara justru tampil dengan wajah datar—seolah ini hanya kesalahan teknis yang bisa ditutup dengan istilah “oknum”.
Tokoh aktivis perempuan sekaligus penulis asal Kabupaten Blora, Dewi Nur Halimah, menegaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan pelecehan seksual yang dilegalkan oleh seragam dan kewenangan.
“Jika ini disebut kesalahan prosedur, maka prosedurnya memang bermasalah. Tubuh perempuan tidak pernah menjadi ruang aman di hadapan kekuasaan,” ujarnya.
Di tengah kegaduhan ini, publik menoleh ke DPRD.
Namun yang terdengar justru keheningan. Pertanyaannya sederhana, tapi memalukan: rehabilitasi mental apa yang disiapkan DPRD untuk korban setelah namanya dihancurkan dengan label keji sebagai pembuang bayi? Atau trauma memang tidak masuk dalam agenda rapat?
Lebih jauh, apakah DPRD telah mendorong Polres menegakkan hukum secara adil? Memberi sanksi pada penyebar fitnah pertama, pemberi komando penangkapan, oknum polisi yang menyeret korban, hingga bidan yang melakukan pemeriksaan paksa? Ataukah semua itu akan ditunggu sampai isu ini dingin dan publik lupa?
Belum jelas pula apakah DPRD telah menyediakan visum bagi korban, mendengar jeritan keluarga, membuka ruang aman, atau sekadar menyempatkan diri mengunjungi korban.
Jika semua itu belum dilakukan, barangkali fungsi pengawasan hanya hidup di atas kertas, bukan di tengah penderitaan rakyat.
Kasus ini mengajarkan satu hal pahit: di hadapan kekuasaan, tubuh perempuan sering kali lebih mudah dilukai daripada dibela.
Sementara wakil rakyat, entah sedang sibuk apa, memilih aman di balik meja dan mikrofon. Dan, DPRD bukan sekadar jabatan. Ia amanah. Dan ketika amanah bungkam, satire menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa untuk menyebut ketidakadilan.















