Jateng, Tuturpedia.com – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, angkat bicara terkait Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang perlu dicermati, Sabtu (1/6/2024).
Tentunya apa yang disampaikan olehnya ini bukan tanpa alasan, sebab fakta di lapangan menggambarkan bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasi dengan baik, bahkan menyebabkan masyarakat tidak memahami tujuan sasaran tersebut sehingga munculkan pro dan kontra.
“Jadi, masyarakat kembali riuh dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Berbagai kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat ini merupakan hal yang wajar karena berkaitan dengan pemotongan gaji pegawai swasta di saat kebutuhan hidup makin menghimpit. Pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera, namun pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera,” ucap Edy sapaan akrab anggota Komisi IX DPR RI.
Hal ini mengacu, lanjut Edy, pada Pasal 38 ayat 1b dan 1c, di mana menyebutkan bahwa syarat pekerja yang akan mendapatkan manfaat adalah yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.
“Lalu pada Pasal 39 ayat 2c yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakkan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera. Ini artinya BP Tapera akan menentukan juga akses ke manfaat Tapera yang berupa KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah. Melihat ini, Tapera berbeda dengan BPJS yang mengutamakan asas gotong royong dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh pesertanya,” ungkapnya.
Tapera Disebut Tak Dapat Kepastian Timbal Hasil
Tak hanya itu, pihaknya juga melihat dana yang dikumpulkan di Tapera tidak mendapatkan kepastian timbal hasil. Berbeda dengan Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal dengan rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah.
Bahkan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan pada peserta JHT di atas rata-rata suku bunga bank.
“Saat ini sudah ada fasilitas di BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera. Ada program namanya Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan,” terangnya.
“Akan ada overlapping antara MLT Perumahan dan UU Tapera. Dan kami meminta agar memaksimalkan MLT perumahan untuk pekerja sehingga pekerja dan pengusaha swasta tidak diwajibkan ikut Tapera. Kemudian, dengan diwajibkan membayar iuran Tapera 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha maka akan menggangu upah buruh dan cash flow perusahaan,” jelasnya.
Maka dari itu, dirinya mengusulkan agar pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah bagi ASN dan masyarakat miskin. Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti di Program JKN.
“Sumber dananya bisa dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN. Namun, yang terjadi di lapangan itu harga bahan pokok mahal, harga properti tidak dapat dijangkau. Masyarakat benar-benar dihimpit,” tandasnya.***
Kontributor Jawa Tengah: Lilik Yuliantoro.
Editor: Annisaa Rahmah.