Indeks

“Stop Tot-Tot Wuk-Wuk”: Protes Kreatif Warganet yang Simbolkan Keresahan Mendalam

Yogyakarta, Tuturpedia.com — Suara sirene dan strobo yang kerap memecah kepadatan jalan kini tak lagi sekadar penanda kendaraan darurat. Fenomena ini memicu gerakan protes daring yang viral, mengundang perhatian serius dari para ahli. Selasa, (23/09/2025).

Hal itu dikarenakan, bagi sebagian besar masyarakat, bunyi “tot-tot wuk-wuk” telah menjelma menjadi simbol ketidakadilan dan ketidakpekaan para pejabat yang seolah meminta prioritas di jalan raya.

Prof. Dr. Zuly Qodir, seorang sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), melihat fenomena ini bukan sebagai tren sesaat, melainkan bentuk akumulasi kemarahan publik yang sudah mencapai titik didih.

“Kondisi sosial, ekonomi, dan politik kita sebenarnya tidak sedang baik-baik saja,” ungkapnya. “Banyak orang yang kesulitan, sementara elit politik seringkali kehilangan kepercayaan. Dalam situasi seperti ini, hal-hal kecil seperti suara sirene bisa menjadi pemicu kemarahan yang lebih besar,” ucapnya pada awak media, Senin (22/09)

Foto: Prof. Dr. Zuly Qodir, seorang sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) (istimewa)

Menurut Zuly, protes ini adalah respons wajar dari masyarakat yang merasa setara sebagai pembayar pajak. Dan, mengingatkan, pada para pejabat seharusnya lebih peka dan membedakan diri dari kendaraan yang memang membutuhkan prioritas.

“Wajar masyarakat protes, karena mereka juga sama-sama pembayar pajak. Kalau Presiden atau ambulans, wajar diberi prioritas. Tapi kalau semua pejabat, dari anggota DPR sampai staf, merasa berhak, itu jelas mengganggu ketenangan publik,” ungkapnya.

Kritik “Halus” Berpotensi Jadi Gerakan Nyata

Pihaknya memandang istilah “tot-tot wuk-wuk” sebagai bentuk kreativitas masyarakat dalam menyampaikan kritik yang terkesan ringan, namun sangat mengena.

“Bahasanya sederhana, lucu, tapi mengena. Ini menunjukkan masyarakat punya cara halus untuk protes. Kalau tidak direspons, jangan kaget jika bentuk protes ke depan akan lebih keras,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menilai gerakan ini berpotensi berkembang dari sekadar tren viral menjadi gerakan sosial terorganisasi. Jika pemerintah mengabaikan keresahan ini, bukan tidak mungkin protes damai bisa berujung pada hal yang lebih berbahaya, bahkan kerusuhan.

“Secara sosiologis, ini adalah tahap awal protes publik. Kalau dibiarkan, akumulasi kemarahan bisa berbahaya,” katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya kembali,  mendorong pemerintah untuk segera merespons keresahan ini dengan membuat aturan yang lebih tegas mengenai penggunaan sirene.

“Sirene sebaiknya hanya untuk Presiden, ambulans, pemadam kebakaran, atau polisi dalam kondisi darurat. Jangan semua pejabat merasa VVIP,” pungkasnya.

Dirinya juga menambahkan, bahwasanya Fenomena “Stop Tot-Tot Wuk-Wuk” adalah pengingat bahwa aspirasi rakyat, sekecil apa pun, tidak boleh diabaikan.

“Ini adalah momentum bagi semua pihak untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah dan masyarakat,” tandasnya.
Penulis: Lilik Yuliantoro || Editor: Permadani T.

Exit mobile version