Tuturpedia.com – Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK) soroti permasalahan mengenai lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang kebanyakan menjadi caddy golf (pramugolf).
Dikutip Tuturpedia.com, Senin (9/9/2024), pria yang kerap disapa JK ini menyebut jika sebagian besar lulusan SMK berakhir di sektor informal, salah satunya menjadi caddy di lapangan golf.
Menurutnya hal ini cukup miris, padahal Indonesia memiliki rencana membangun 15.00 sekolah SMK dan sekarang sudah ada sekitar 10.000 SMK swasta dan 5.000 pemerintah.
“Kita punya ide bikin 15.000 SMK, sekarang ada 10.000 SMK swasta dan 5.000 pemerintah,” ungkap JK.
Sayangnya kebanyakan lulusan SMK itu justru hampir 75 persen memilih berprofesi menjadi seorang caddy di lapangan golf.
“Tapi 75% lulusannya malah jadi caddy di lapangan golf. Coba tanyakan, siapa main golf di sana? Dari 4 caddy, 3 tamat dari SMK,” jelasnya.
Wapres ke-10 dan ke-12 itu pun menilai jika latar belakang dari permasalahan tersebut yakni kurangnya perkembangan ekonomi.
Bukan hanya perkembangan ekonomi, namun penyesuaian pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja juga dinilai menjadi masalah yang melatar belakanginya.
Banyak pihak memutuskan untuk sekolah SMK karena mengalami kekurangan ekonomi dan berharap mendapatkan pekerjaan, namun ketika mereka sekolah di SMK justru tak memperoleh pekerjaan.
“Jadi, mana yang salah? Ekonomi salah, pendidikan juga salah. Dua-duanya salah. Ekonomi kita tidak berkembang, akhirnya mereka sekolah di SMK tapi tidak ada pekerjaan. Mereka tamat asal tamat, sehingga tidak bisa bekerja dan tidak bisa mengembangkan ekonomi,” jelasnya.
Menyoroti soal permasalahan ini, JK pun akhirnya membandingkan sistem pendidikan di Indonesia dan Finlandia yang belakangan disebut jadi role model di Tanah Air.
Dengan permasalahan yang ada di Indonesia, JK menilai Indonesia tidak bisa mencontoh negara-negara seperti Finlandia dan Singapura dalam penerapan kebijakan sistem pendidikan.
Jelas Indonesia dan kedua negara tersebut sangat berbeda baik dari populasi, pendapatan per kapita antar negara, karenanya sistem pendidikan dan kebijakan di sana tidak relevan jika diterapkan di Indonesia.
“Bicara soal pendidikan, jangan contohkan Finlandia, jangan contohkan Singapura. Mereka penduduknya cuma 5 juta, income per kapitanya $50.000, kita penduduk 280 juta dengan income per kapita $4.500, jauh sekali bedanya,” katanya.
Menurutnya Kurikulum Merdeka tidak cocok diterapkan di Indonesia karena fasilitas yang memang belum memadai.
Alih-alih meniru negara Finlandia, JK justru menyebut Indonesia bisa meniru sistem kebijakan dari negara India, Cina, dan Korea.
“Kalau mau bicara pendidikan di sana, mau merdeka, silakan, karena di sana mau belajar kimia ada laboratoriumnya, mau fisika ada labnya, mau olahraga ada fasilitasnya, semuanya ada di Amerika, Singapura, Finlandia, apalagi. Tapi kita bisa belajar dari India, bisa belajar dari Cina, dari Korea,” tuturnya.***
Penulis: Niawati
Editor: Annisaa Rahmah