Semarang, Tuturpedia.com — Suasana di SMA Negeri 11 Semarang mendadak riuh pada Senin (20/10/2025) pagi. Ratusan siswa memadati halaman sekolah, bukan untuk kegiatan rutin, melainkan menggelar aksi demo menuntut keadilan atas kasus pelecehan seksual berbasis digital yang menyeret nama seorang alumnus mereka, Chiko Radityatama Agung Putra.
Kasus ini menjadi buah bibir setelah muncul di media sosial. Chiko, yang kini berstatus mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu universitas negeri di Semarang, dituding mengedit foto-foto siswi dan seorang guru sekolah itu menjadi gambar bermuatan pornografi menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI). Unggahan hasil editan tersebut beredar di dunia maya dan membuat banyak korban mengalami tekanan psikologis.

Geger di Dunia Maya, Berujung Aksi Massa di Sekolah
Awal mula kasus ini terungkap dari akun media sosial X (Twitter) yang membeberkan aktivitas tidak senonoh sang alumnus. Akun tersebut mengunggah bukti-bukti kuat, termasuk tangkapan layar serta jejak digital yang menunjukkan bahwa pelaku memiliki lebih dari 10 akun email, dengan ratusan hasil rekayasa digital.
Dari data yang tersebar, Chiko diduga telah memproduksi dan menyimpan lebih dari 1.100 video hasil manipulasi wajah (deepfake), serta lebih dari 300 unggahan serupa di berbagai platform.
Korban yang teridentifikasi sementara ini mencakup lima siswi dan satu guru aktif di SMA 11 Semarang.
Kabar ini sontak membuat geram para siswa. Seusai upacara bendera, mereka kompak berorasi di halaman sekolah. Beberapa membawa spanduk bertuliskan:
“Kami Butuh Keadilan!”
“Justice for SMAN 11”
“Korban Butuh Perlindungan!”
Siswa Merasa Sekolah Lamban Bertindak
Dalam orasinya, sejumlah siswa menyampaikan kekecewaan karena pihak sekolah dianggap lamban dan tertutup menanggapi kasus yang telah mencoreng nama baik sekolah.
“Ini bukan hanya masalah pribadi korban, tapi marwah sekolah juga dipertaruhkan. Kami ingin keadilan ditegakkan!” teriak salah satu orator dari kelas 12 yang ikut memimpin aksi.
Menurut mereka, laporan kasus ini sudah sampai ke pihak sekolah sejak beberapa waktu lalu, namun belum ada tindak lanjut nyata. Bahkan, saat pihak luar berusaha mengonfirmasi kasus tersebut, pihak sekolah dinilai tidak responsif.
Seorang siswi lain mengaku kecewa dengan sikap pimpinan sekolah.
“Kami sudah capek menunggu. Kami butuh keterbukaan, bukan pembungkaman,” ujarnya dengan nada emosional.
Mediasi Akhirnya Disepakati
Desakan massa akhirnya direspons. Kepala sekolah menyetujui mediasi tertutup dengan perwakilan siswa. Sebanyak 10 siswa dari kelas 11 dan 12 diundang ke ruang rapat untuk membahas kasus ini bersama guru dan pihak manajemen sekolah.
Namun sebagian besar siswa menolak mediasi dilakukan tertutup. Mereka menuntut agar klarifikasi dilakukan di ruang terbuka, disaksikan oleh perwakilan media dan publik.
“Kami ingin semua tahu prosesnya, jangan ditutup-tutupi. Kalau hasilnya tidak memuaskan, kami siap turun lagi,” ujar salah satu peserta aksi.
Permintaan Maaf dari Pelaku Tak Cukup Redakan Amarah
Sebelumnya, Chiko Radityatama sempat mengunggah video permintaan maaf di media sosial. Dalam video berdurasi dua menit itu, ia mengaku bersalah dan menyampaikan penyesalan kepada korban, guru, serta pihak sekolah.
Namun, permintaan maaf itu dinilai tidak cukup. Banyak siswa menilai tindakan Chiko sudah termasuk pelecehan seksual digital yang menimbulkan trauma mendalam.
“Minta maaf gampang. Tapi efek ke korban seumur hidup. Jangan sepelekan,” ujar seorang siswa yang ikut aksi.
Pihak Sekolah dan Dinas Diminta Bertindak Tegas
Aksi ini menjadi sorotan publik karena memperlihatkan keberanian siswa dalam menuntut transparansi. Beberapa pengamat pendidikan menilai, kasus ini harus dijadikan pelajaran tentang pentingnya edukasi literasi digital dan etika penggunaan AI.
Pihak sekolah, hingga berita ini ditulis, belum memberikan pernyataan resmi selain konfirmasi bahwa mediasi telah dilakukan. Dinas Pendidikan Jawa Tengah juga dikabarkan telah menerima laporan dan berkoordinasi dengan aparat untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku.
Kasus “Chiko” kini menjadi simbol perlawanan terhadap pelecehan berbasis teknologi. Bagi siswa SMA 11 Semarang, aksi ini bukan sekadar demo—melainkan langkah nyata untuk menuntut keadilan bagi korban dan menjaga nama baik sekolah.















