JAKARTA, Tuturpedia.com – Rencana Kementerian Kesehatan untuk mengubah sistem rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi berbasis kompetensi mulai tahun 2026 mendapat catatan penting dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Selasa, (25/11/2025).
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan bahwa keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada kesiapan fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh daerah, yang saat ini masih mengalami ketimpangan parah.
Meskipun mendukung upaya memangkas alur rujukan, Edy mengingatkan bahwa perubahan sistem tidak boleh hanya sekadar mengubah prosedur.
“Jangan hanya mengubah alur. Perbaiki alat kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di rumah sakit yang selama ini di tipe C dan D,” tegas Politisi PDI Perjuangan tersebut.
Ancaman Penumpukan Pasien di RS Besar
Menurut Edy, rumah sakit (RS) tipe C dan D, yang merupakan garda terdepan rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), masih menghadapi kekurangan signifikan, baik dari segi alat kesehatan maupun tenaga medis yang kompeten.
Jika masalah fundamental ini diabaikan, sistem rujukan berbasis kompetensi justru berpotensi besar menumpuk pasien di rumah sakit tipe A yang selama ini sudah menjadi tumpuan rujukan. Kondisi ini akan memperparah antrean panjang dan membebani masyarakat.
Edy mendorong pemerintah agar memberikan dukungan konkret, seperti pinjaman lunak atau insentif pajak, bagi rumah sakit daerah untuk meningkatkan kapasitas dan membeli alat kesehatan, sesuai dengan mandat konstitusi penyediaan layanan kesehatan yang layak.
FKTP Minim Informasi dan Pasien Kena ‘Pingpong’
Selain masalah kesiapan RS rujukan, Edy menyoroti persoalan mendasar di tingkat layanan primer (FKTP). Banyak puskesmas, katanya, tidak memiliki informasi terkini mengenai kuota layanan, jadwal dokter spesialis, atau ketersediaan IGD/ICU di rumah sakit tujuan.
“Akibatnya, pasien kerap tiba di rumah sakit namun ditolak karena kuota penuh. Situasi ini tidak hanya memperlambat pelayanan, tetapi juga menambah biaya non-medis,” jelasnya.
Ia juga mengkritik praktik rujukan antar rumah sakit yang masih dibebankan kepada keluarga pasien. Edy menuntut agar setiap RS mitra BPJS Kesehatan memiliki desk pengaduan yang proaktif membantu mencarikan faskes tujuan yang memiliki kapasitas.
Digitalisasi Hanya ‘Etalase’?
Mengenai upaya pemangkasan durasi rujukan melalui teknologi, Edy menilai akar masalah sebenarnya terletak pada ketidaksinkronan antara sistem digital BPJS Kesehatan dengan alur internal rumah sakit.
“Ada keluhan pasien yang sudah mendapat slot antrean melalui aplikasi, namun tetap harus menunggu lama karena poli rumah sakit belum menyesuaikan alur digital tersebut. Kalau begini, digitalisasi hanya jadi etalase,” tegasnya.
Edy menyimpulkan bahwa esensi reformasi rujukan bukanlah pada istilah “berbasis kompetensi”, melainkan memastikan bahwa: pasien tidak tersesat, tidak dipingpong antar fasilitas, dan tidak terbebani biaya yang seharusnya ditanggung negara.
