Jakarta, Tuturpedia.com — Menjelang berlangsungnya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP 30) di Belém, Brazil (10–21 November 2025), Serikat Petani Hutan Rakyat (SEPHUR) Nusantara meluncurkan Deklarasi Belém Revolusioner, sebuah pernyataan politik dan moral yang menggugat arah agenda iklim global yang dianggap telah dikuasai oleh kepentingan korporasi dan kapitalisme hijau.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan di Jakarta, SEPHUR menegaskan bahwa krisis iklim bukan semata persoalan ekologis, melainkan kegagalan sistemik dan pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Selasa, (11/11/2025).
Sekretaris Jenderal SEPHUR, Koesnadi Wirasaputra, menyebut bahwa banyak kebijakan iklim justru memperparah ketidakadilan sosial di tingkat akar rumput.
“Keadilan iklim tidak akan lahir dari ruang negosiasi elit yang steril. Ia tumbuh dari keringat dan perjuangan rakyat kecil yang menjaga hutan, penyuplai oksigen bagi peradaban yang justru mengkhianati mereka,” ujar Koesnadi.
Kritik terhadap Kapitalisme Hijau dan COP 30
SEPHUR menilai bahwa COP 30 berpotensi menjadi panggung ilusi di bawah bayang-bayang kapitalisme hijau global.
Di tengah sorotan pada dana triliunan dolar untuk carbon market dan loss and damage fund, SEPHUR memperingatkan bahwa tanpa keterlibatan substantif rakyat, semua inisiatif tersebut hanyalah simulasi moral yang gagal menjawab akar persoalan.
“COP 30 tanpa partisipasi rakyat adalah simulasi kemanusiaan yang munafik, tempat negara industri membeli penebusan dosa ekologinya dengan mata uang karbon,” tegas Koesnadi.
KHDPK dan Realitas Ketimpangan di Indonesia
Dalam konteks nasional, SEPHUR menyoroti implementasi Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Pulau Jawa yang dianggap belum menyentuh akar reforma agraria sejati.
Meskipun pemerintah mencatat lebih dari 930 Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan total luasan 408.789 hektare melibatkan 236.971 kepala keluarga, SEPHUR menyebut capaian itu, hanya setetes air di lautan, dibandingkan luas konflik lahan antara rakyat dan BUMN kehutanan seperti Perhutani.
“Kebijakan yang tidak berpihak pada hak-hak fundamental rakyat adalah kebijakan yang kehilangan moralitas ekologis,” ujar Koesnadi.
Enam Tuntutan Revolusioner SEPHUR untuk COP 30
Sebagai mandat moral dari rakyat penjaga hutan, SEPHUR Nusantara mengajukan enam tuntutan pokok kepada komunitas global, yakni :
- Rumuskan solusi iklim berbasis rakyat dan kedaulatan lokal.
- Wajibkan penyelesaian konflik tenurial sebagai indikator legitimasi global.
- Hentikan kriminalisasi terhadap petani dan pengelola hutan.
- Bangun solidaritas Selatan–Utara yang adil dan setara.
- Tegakkan keadilan ekologis dan redistribusi ekonomi karbon yang pro-rakyat.
- Mandat moral bagi Presiden RI untuk menegakkan reforma agraria sejati dan menolak dominasi bisnis karbon.
Krisis Iklim Sebagai Ujian Moral Peradaban
Bagi SEPHUR, perjuangan keadilan iklim bukan sekadar tuntutan politik, tetapi perang moral dan rekonstruksi sistem nilai.
Mereka menyerukan agar dunia kembali menempatkan manusia, khususnya rakyat penjaga hutan, sebagai subjek utama penyelamatan bumi.
“Jika hutan adalah paru-paru dunia, maka rakyat hutan adalah jantungnya. Hentikan proyek hijau yang dibangun di atas ketidakadilan sosial, karena bumi tidak akan pernah sembuh dari ketimpangan ini,” tutup Koesnadi.
Tentang SEPHUR Nusantara
Serikat Petani Hutan Rakyat (SEPHUR) Nusantara adalah organisasi rakyat akar rumput berbasis petani hutan di Indonesia yang memperjuangkan hak kelola, kedaulatan sumber daya alam, dan keadilan ekologis.
Berjejaring dengan ratusan kelompok tani hutan di Jawa dan Indonesia bagian barat, SEPHUR menjadi mitra kritis pemerintah dalam pelaksanaan Perhutanan Sosial, Reforma Agraria, dan KHDPK.
