banner 728x250

Saldi Isra Tidak Terbukti Melanggar Kode Etik Atas Dissenting Opinion, MKMK Beri Sanksi Teguran Lisan

MKMK putuskan Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik atas dissenting opinion. Foto: Laman MKRI
MKMK putuskan Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik atas dissenting opinion. Foto: Laman MKRI
banner 120x600

Tuturpedia.com – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyebutkan Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi sepanjang menyangkut kebocoran informasi rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada (7/11/2023).

Laporan terhadap Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra diajukan oleh ARUN, Advokat LISAN, Lembaga Bantuan Hukum Cipta Karya Keadilan, dan TAPHI. Yang kemudian ditetapkan pada Putusan Nomor 3/MKMK/L/11/2023.

“Amar putusan, memutuskan, menyatakan, hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (dissenting opinion),” ucap Jimly Asshiddiqie, dilansir Tuturpedia.com dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI (7/11/2023).

“Hakim terlapor secara bersama-sama dengan para hakim lainnya terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang menyangkut kebocoran informasi Rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara,” sambungnya.

“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap hakim terlapor dan hakim konstitusi lainnya,” ujar Jimly dalam menjatuhkan sanksi pada Saldi Isra dan hakim lainnya.

Adapun laporan tersebut berkaitan dengan dissenting opinion atau perbedaan pendapat oleh Saldi Isra yang disebut bersifat provokatif dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, mengumbar rahasia dalam RPH, menjatuhkan kolega sesama hakim dan tidak koheren dengan permasalahan yang dibahas.

Menanggapi hal itu, Wahiduddin Adams salah satu anggota MKMK turut menyampaikan putusan, bahwasanya putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat serta mengandung sifat merdeka yang mengarah kepada kemerdekaan dan independensi para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

“Hakim dapat saja memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan pendapat hakim mayoritas maupun alasan berbeda (concurring opinion) terhadap suatu perkara. Hal ini pun diatur di dalam Pasal 14 ayat (3) UU 48/2009 yang menyatakan dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan,” terang Wahiduddin.

Maksudnya adalah, pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) merupakan satu kesatuan dengan putusan dan bagian dalam putusan itu sendiri. Selain itu, pendapat berbeda maupun alasan berbeda tidak dapat dinilai atau dilakukan pengujian kecuali oleh lembaga peradilan itu sendiri. Hal ini sudah menjadi prinsip yang diakui lembaga peradilan seluruh dunia.

Menyambung kepada sifat provokatif dan tidak koheren dalam pendapat berbeda di putusan batas usia capres-cawapres, MKMK menemukan fakta di bagian awal pendapat berbeda oleh Saldi Isra yang tercantum dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 paragraf [6.26.1].

Menurut MK, hal itu diungkapkan dengan bahasa penuh emosi yang berbunyi singkatnya seperti ini:

Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” ungkap Saldi Isra dalam dissenting opinion Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 (16/10/2023).

Menurut MKMK, meskipun Saldi Isra mengucapkan pendapat berbeda sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan emosional, ia tidak termasuk ke dalam pelanggaran kode etik.

“Jikalau hakim ingin membahas dari sudut pandang berbeda yang tidak terkait dengan pokok perkara, seperti membahas dari perspektif prosedural yang berkaitan hukum acara, hal itu pun tidak bermasalah. Sebab, pada hakikatnya pendapat berbeda seorang hakim merupakan wujud independensi personal dan bagian dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman,” tutur Wahiduddin.

“Dengan demikian, dalil para pelapor terkait dengan isu ini tidak beralasan menurut hukum dan harus dikesampingkan,” jelasnya.

Etika Soal Informasi Rahasia RPH

Selain perbedaan pendapat dalam putusan, Saldi Isra beserta 8 hakim konstitusi lainnya dilaporkan akibat adanya kebocoran rahasia RPH yang bersifat tertutup. Namun, sembilan hakim itu tidak mengetahui siapa yang membocorkan informasi dalam Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Oleh karena itu, Majelis Kehormatan tidak dapat meneruskan dan membuktikan ihwal kebocoran rahasia RPH terkait dengan penanganan dan pemeriksaan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dilakukan oleh siapa. Namun demikian, Majelis Kehormatan meyakini bahwa kebocoran informasi boleh jadi terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh hakim konstitusi, meskipun tak cukup bukti untuk mengungkap kebocoran informasi pengambilan putusan dalam RPH dimaksud, akan tetapi secara kolektif hakim konstitusi, terutama ketua MK, memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menjaga agar informasi rahasia yang dibahas dalam RPH tidak bocor keluar,” ungkap Wahiduddin Adams.

Mengenai potensi benturan yang terjadi, Majelis Kehormatan menilai adanya tradisi dalam pengujian norma dengan kepentingan untuk keuntungan pribadi. Yang puncak benturan kepentingannya ada pada Ketua MK dalam menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dengan ini, Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Namun ia terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.***

Penulis: Annisaa Rahmah

Editor: Nurul Huda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses