Tuturpedia.com – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra tak sepakat dengan putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang gugatan batas usia minimal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) di Indonesia.
Menurutnya putusan MK bisa mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Hal tersebut disampaikan Saldi Isra saat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam sidang soal batas usia Capres-Cawapres di Gedung MK, Senin (16/10/2023).
Diketahui MK telah membuat putusan yang membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, dengan syarat berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Terkait putusan MK, Saldi Isra mengaku bingung, dan merasa aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar.
Apalagi, kata Saldi, Mahkamah berubah pendirian hanya dalam sekejap.
“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” ungkap Saldi saat sidang di Gedung MK, Senin (16/10/2023)
Lebih lanjut, Saldi menyebutkan sejak dia menjadi Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah pada 11 April 2017, baru kali ini dia mengalami peristiwa aneh.
Terlebih peristiwa tersebut jauh dari batas penalaran wajar hingga membuat Mahkamah Konstitusi berubah pendirian dan sikap hanya dalam sekelebat.
Dia mengungkap ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada 19 September 2023, RPH hanya dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, kecuali Ketua MK Anwar Usman.
“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023 sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” kata Saldi.
Namun, saat RPH selanjutnya digelar untuk membahas putusan perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023, rapat dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.
Menurut Saldi, beberapa hakim yang sebelumnya menolak, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menurutnya, peraturan tentang batas usia Capres dan Cawapres ini sesungguhnya telah terkunci dengan adanya peraturan terdahulu.
“Pertimbangan hukum tersebut merupakan pembuktian bagaimana Mahkamah konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang berkenaan dengan usia yang telah menjadi yurisprudensi sejak generasi pertama lembaga ini berdiri,” tandasnya.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Namun, keputusan itu berubah hanya dalam hitungan hari.
“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” sambungnya.
MK Bisa Runtuhkan Kepercayaan Publik
Saldi menilai kebijakan MK bisa meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap lembaga tersebut.
Lebih jauh Saldi mengaku khawatir, MK terjebak dalam arus politik yang terjadi di Indonesia.
“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tuturnya.***
Penulis: Angghi Novita
Editor: Nurul Huda















