Blora, Tuturpedia.com – Kasus dugaan salah tangkap terhadap seorang perempuan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) di Kabupaten Blora terus memantik reaksi keras masyarakat. Senin, (22/12/2025).
Peristiwa yang kini viral tersebut bukan hanya menimbulkan keprihatinan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap profesionalisme aparat dan institusi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan.
Masyarakat dibuat miris ketika kesalahan fatal terjadi justru di tangan petugas yang bekerja sesuai bidangnya.
Lebih ironis lagi, keterangan awal yang menjadi dasar tindakan aparat diduga berasal dari tenaga kesehatan, dalam hal ini bidan, yang seharusnya profesional, terlatih, dan berlandaskan analisis medis yang akurat terkait kondisi perempuan yang dituduh baru melahirkan.
“Kalau tenaga kesehatan saja bisa salah memberikan keterangan, lalu aparat langsung menindak tanpa verifikasi mendalam, ini bukan sekadar keteledoran, tapi kegagalan sistemik,” ungkap (i) salah satu warga Wilayah Kecamatan Kedungtuban.
Alih-alih mengakui kesalahan secara terbuka dan menempuh jalur hukum yang transparan, masyarakat menilai APH justru terkesan “kebakaran jenggot”.
Berbagai upaya diduga dilakukan untuk menutup kesalahan, termasuk langkah damai yang disebut-sebut berupa pemberian kompensasi sebesar Rp50 juta serta janji beasiswa pendidikan hingga jenjang sarjana kepada korban.
Langkah tersebut justru dinilai menggelitik, bahkan dianggap sebagai lelucon pahit di tengah penderitaan korban.
“Seolah-olah keadilan bisa dibeli, dan trauma bisa disapu bersih dengan uang dan ijazah,” sindirnya kembali.
Masyarakat menegaskan bahwa kompensasi materi, sebesar apa pun, tidak akan pernah mampu menggantikan kerugian yang dialami korban. Nama baik tercemar, waktu terbuang, kesempatan hidup terenggut, serta trauma psikologis yang berkepanjangan tidak bisa dinilai dengan angka.
Oleh karena itu, masyarakat mendesak agar korban tetap mendapatkan pendampingan psikologis yang layak dan berkelanjutan.
Lebih jauh, publik menuntut adanya sanksi tegas dan terbuka terhadap APH yang terlibat, bukan sekadar penyelesaian internal melalui mekanisme Propam.
Menurut (i), tanpa regulasi yang jelas dan hukuman yang memberi efek jera, jangan berharap aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional dan humanis. Dan, Pertanyaan lain yang mengemuka adalah soal sumber dana beasiswa yang dijanjikan.
Jika berasal dari anggaran pemerintah, publik menilai hal tersebut sebagai ironi besar: negara justru membiayai kesalahan akibat kelalaian aparatnya sendiri.
“Kalau benar begitu, ini bukan hanya tragis, tapi juga lucu. Negeri ini seperti menertawakan rasa keadilan warganya sendiri,” bebernya.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera membenahi sistem penegakan hukum, memperketat prosedur, serta memastikan bahwa setiap kesalahan aparat tidak ditutup dengan kompromi, melainkan diselesaikan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Jika tidak, maka salah tangkap akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap hukum akan semakin runtuh—pelan, tapi pasti.















