Blora, Tuturpedia.com – Kasus dugaan salah tangkap pelaku pembuangan bayi yang disertai pemeriksaan intim paksa hingga merusak organ intim korban terus menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Minggu, (21/12/2025).
Tindakan oknum aparat yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah dinilai bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sekaligus bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Tokoh aktivis perempuan sekaligus penulis asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Dewi Nur Halimah, menegaskan bahwa peristiwa ini tidak boleh disederhanakan sebagai “kesalahan prosedur”.
Menurutnya, apa yang dialami korban adalah bentuk kekerasan seksual oleh aparat negara yang seharusnya melindungi, bukan melukai.
“Ini bukan salah administrasi, ini kejahatan serius. Tubuh perempuan tidak boleh dijadikan objek pemeriksaan sewenang-wenang, apalagi tanpa dasar hukum yang jelas,” tegas Dewi.
Ia juga mempertanyakan di mana peran DPRD sebagai wakil rakyat ketika warganya diduga mengalami pelecehan seksual dan perlakuan tidak manusiawi.
Dan, menilai, DPRD tidak boleh hanya hadir sebagai simbol kekuasaan politik, apalagi sekadar mendorong ‘jalan damai’ yang justru berpotensi mengubur keadilan korban.
“Yang dibutuhkan korban bukan damai semu, tetapi keadilan. Pelaku harus diberi sanksi tegas, dan korban harus dipulihkan secara utuh,” ujarnya.
Pihaknya menekankan, ketika rakyat menjadi korban pelecehan seksual, DPRD memiliki fungsi strategis yang tidak bisa diabaikan. Dan, fungsi pengawasan harus dijalankan secara nyata, bukan hanya tertulis dalam undang-undang atau slogan wakil rakyat.
Menurutnya, DPRD seharusnya aktif mengawasi kinerja kepolisian, kejaksaan, Dinas Sosial, unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), serta seluruh instansi daerah yang terlibat dalam penanganan kasus ini.
Pengawasan tersebut meliputi kecepatan penanganan laporan, jaminan proses hukum yang adil, serta perlindungan korban dari intimidasi, kriminalisasi, dan reviktimisasi.
“Jangan sampai korban yang sudah terluka justru kembali disakiti oleh sistem. DPRD harus berdiri di pihak korban, bukan berlindung di balik meja rapat,” tandasnya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen negara, khususnya lembaga legislatif daerah, dalam melindungi hak-hak perempuan dan menegakkan keadilan.
Publik kini menanti, apakah DPRD Blora benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, atau justru memilih diam saat rakyatnya dizalimi.
