banner 728x250
Review  

Review Film Women From Rote Island: Sebuah Monumen Keprihatinan

TUTURPEDIA - Review Film Women From Rote Island: Sebuah Monumen Keprihatinan
Sinopsis dan review film Women from Rote Island.
banner 120x600

Semarang, Tuturpedia.com – Women from Rote Island (Judul lain: Perempuan Berkelamin Darah) adalah film Indonesia produksi Bintang Cahaya Sinema serta Langit Terang Sinema yang sudah rilis di bioskop sejak 22 Februari 2024 lalu.

Sebelumnya, Women from Rote Island sudah tayang perdana di Festival Film Internasional Busan pada 7 Oktober 2023 dan sempat ditayangkan di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) pada November 2023.

Film yang menyabet gelar film terbaik pada gelaran Festival Film Indonesia ke-43 tahun 2023 itu tentunya memantik rasa penasaran banyak orang untuk menyaksikannya.

Pasalnya, selain menjadi film terbaik, Women From Rote Island juga membawa pulang penghargaan untuk penyutradaraan terbaik (Jeremias Nyangoen), penulisan skenario asli terbaik (Jeremias Nyangoen), dan pengarah sinematografi terbaik (Joseph Christoforus Fofid).

Film ini dibintangi oleh aktor dan aktris asli timur Indonesia dan disutradarai oleh putra asli Rote, Jeremias Nyangoen yang mungkin lebih dikenal sebagai pemeran Sumanto di film Kanibal karya Christ Helweldery.

TUTURPEDIA - Review Film Women From Rote Island: Sebuah Monumen Keprihatinan
Film Women from Rote Island

Sinopsis Film Women from Rote Island

Film Women From Rote Isand berkisah tentang keluarga yang hidup di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

Orpa (Merlinda Dessy Adoe) diceritakan baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Ia yang sedang kalut, berdebat dengan orang-orang kampung termasuk keluarganya sendiri karena menolak menguburkan mayat suaminya sebelum menunggu Martha (Irma Novita Rihi), anak tertuanya yang sedang mengadu nasib ke Malaysia pulang.

Singkat kisah, Martha akhirnya pulang dan upacara pemakaman dapat dilakukan. Namun, Martha yang sekarang berbeda dengan Martha yang Orpa kenal.

Ia mengalami trauma mendalam karena perlakuan buruk dari Datuk, ‘tuannya’ saat bekerja di Malaysia.

Hal ini membuat Martha mudah terpancing emosinya saat melihat orang-orang yang ia anggap memiliki kemiripan dengan Datuk. Emosi Martha ini lantas menimbulkan banyak permasalahan dan konflik di Desanya.

Puncaknya, Martha, Orpa, dan adik perempuannya, Bertha (Sallum Ratu Ke) menjadi korban pelecehan seksual dan menuntut keadilan kepada adat dan hukum.

TUTURPEDIA - Review Film Women From Rote Island: Sebuah Monumen Keprihatinan
Review film Women from Rote Island

Review Film Women from Rote Island

Berikut beberapa poin menarik dari film Women from Rote Island yang masih tayang di bioskop.

Penyutradaraan

Cara penyutradaraan Jeremias Nyangoen dalam film Women from Rote Island mengingatkan pada gaya penyutradaraan, Lijo Jose Pellisery, sutradara film berbahasa Malayalam asal Kerala, India.

Jeremias dan Pellissery sama-sama mengangkat adat dan menggunakan gaya narasi non-linier.

Selain itu, mereka juga sering menggunakan teknik long-take dalam pengambilan gambar. Keduanya juga sama-sama memanfaatkan aktor lokal & ‘orang-orang baru’ dalam skenario film.

Sinematografi

Departemen Sinematografi yang dikomandoi oleh Joseph Christoforus Fofid dalam film Women from Rote Island sangat sukses menggambarkan Pulau Rote dengan indah.

Pemilihan landscape dan latar yang dikemas anggun dalam satu frame racikan Joseph Fofid tentunya akan membuat penonton merasa kagum.

Sinematografi semacam ini mengingatkan penulis pada film Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya serta Humba Dream dan Atambua 39° Celsius garapan Riri Riza.

Makna dan Muatan Isi Film

Women from Rote Island mengangkat cukup banyak isu yang mungkin dianggap sensitif oleh sebagian kalangan.

Di film ini, adegan dan tema pelecehan/penyimpangan seksual, human trafficing/penyaluran TKW ilegal, aturan adat yang timpang, hingga pembunuhan ditampilkan secara gamblang dan bahkan cenderung ‘eksploitatif.’

Film ini besar kemungkinan menitik beratkan pada adagium/term bahwa “Tidak ada tempat yang aman bagi perempuan untuk tidak mendapatkan pelecehan.”

Keluarga Martha di film ini digambarkan sebagai pihak korban yang terus-menerus merasakan ketidakadilan dalam lingkungan yang bagi sebagian orang dianggap Misoginistik.

Martha dilecehkan, diperkosa, bahkan dihamili oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Ibunya, Orpa mendapatkan pelecehan di Pasar, bahkan adiknya, Bertha harus meregang nyawa karena ia melihat hal yang tabu di masyarakat.

Namun dalam masyarakat yang Misoginistik itu, hadir sosok Damar (Van Jhoov) sebagai perwakilan pria yang punya kepedulian terhadap perempuan (dalam hal ini Martha & keluarganya).

Dalam film ini, menurut analisis penulis, sosok Damar juga diasosiasikan/digambarkan dengan properti “Burung dalam Sangkar.”

Ada satu adegan dan dialog yang menggambarkan hal tersebut, yakni saat Martha berkunjung ke Rumah Damar dan terjadi percakapan soal burung dalam sangkar.

Martha bertanya pada Damar, kenapa ia memelihara Burung? Padahal dalam tradisi, orang Rote dilarang memelihara burung.

Damar kemudian menjawab bahwa justru bagus jika orang Rote tidak memelihara burung agar burung-burung tetap bisa bebas di alam.

Di adegan tersebut, menurut penulis Personifikasi Burung sangat cocok dipakai untuk menggambarkan maskulinitas/kemaluan.

Burung dalam sangkar milik Damar menyiratkan pesan bahwa Damar adalah satu dari sekian banyak pria di Rote yang menjaga ‘kemaluannya,’ sementara beberapa yang lain justru melepaskan ‘burungnya’ bebas melakukan apa saja yang mereka mau.

Poin lain yang cukup menarik dalam film ini adalah kepedulian antar perempuan (Women Empowerment).

Hal ini digambarkan dengan interaksi dan dialog antara perempuan dalam beberapa adegan, seperti di pasar, saat upacara adat, dan puncaknya saat perempuan-perempuan Rote yang dipimpin Orpa melakukan gerakan protes ke kantor Polisi.

Sayang sekali, film yang nyaris sempurna ini, mengalami kurang fokus pada penulisan di babak akhir.

Besar kemungkinan, karena muatan konflik yang kompleks serta kumpulan masalah-masalah yang terlampau padat membuat Women from Rote Island harus diakhiri dengan kurang emosional.

Hal yang cukup menggelitik, tentunya adalah hukuman setimpal yang seharusnya dibayarkan pada pelaku justru tidak digambarkan secara Arif.

Apakah film ini menggambarkan empowerment? Iya. Apakah film ini memantik emosi penonton pada pelaku pelecehan seksual? Sangat. Tapi, apakah penulisan film ini terutama pada babak akhirnya sudah sesuai? Belum tentu.

Seandainya ada titik temu dan benang merah yang sesuai untuk penyelesaian semua konflik yang padat itu, maka sudah pasti Women from Rote Island akan makin ciamik.

Terlepas dari itu semua, Women from Rote Island tetap wajib menjadi tontonan bagi masyarakat sebagai bentuk edukasi yang mungkin ‘bersifat keras’ tentang pelecehan seksual dan segala bentuk praktiknya.***

Penulis: Rizal Akbar

Editor: Nurul Huda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses