Tuturpedia.com – Film Tebusan Dosa tengah menuai perbincangan bagi pencinta film horor Indonesia.
Setelah mulai penayangan perdananya pada Kamis, 17 Oktober 2024 lalu, Tebusan Dosa ramai diserbu penonton di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Cilegon, Semarang, Solo, Bogor, Malang, hingga Banjarmasin.
Film produksi Palari Films yang bekerja sama dengan Legacy Pictures dan Showbox ini disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, sutradara yang biasanya menggarap film-film bergaya arthouse.
Film ini dibintangi oleh deretan artis berbakat Indonesia dan Jepang yakni Happy Salma (Wening), Keiko Anata (Nirmala), Putri Marino (Tirta), Shogen (Tetsuya), Bhisma Mulia (Ragus), Keiko Ananta (Nirmala), Laksmi Notokusumo (Uti Yah), Eduwart Manalu (Sulaiman), Bambang Gundul (Mbah Gowa), dan Haru Sandra (Wicak).
Sinopsis
Tebusan Dosa berkisah tentang kehidupan Wening (Happy Salma), seorang ibu yang mengalami kejadian tragis tatkala Nirmala (Keiko Anata), anaknya yang berusia 11 tahun, hilang dalam kecelakaan motor di sebuah jembatan. Kecelakaan itu juga merenggut nyawa Uti Yah (Laksmi Notokusumo), ibunda Wening.
Wening merasa sangat berdosa karena merasa dirinya adalah orang yang bersalah atas meninggalnya ibu dan hilangnya anaknya. Namun di sisi lain, ia percaya bahawa Nirmala masih hidup.
Sementara itu, Tirta (Putri Marino), seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru renang dan kreator podcast misteri, berminat memviralkan tragisnya kehidupan Wening.
Tak disangka, bantuannya itu malah membuat Tirta menyibak rahasia gelap masa lalu Wening yang mengakibatkan hilangnya Nirmala.
Dengan segala upaya dan harapan, Wening terus mencari Nirmala, termasuk meminta bantuan Tetsuya (Shogen), peneliti dari Jepang yang dulu mempekerjakan Uti Yah sebelum meninggal.
Wening bahkan juga meminta bantuan Mbah Gowa (Bambang Gundul), seorang dukun misterius. Namun, di tengah pencariannya, Wening selalu didatangi oleh hantu Uti Yah yang terus menerornya. Akankah Wening bersatu lagi dengan Nirmala?
Hal-hal Menarik dalam Film Tebusan Dosa (Spoiler)
Transformasi Gaya Directing Yosep Anggi Noen
Sebagai orang yang cukup mengikuti perjalanan karier Anggi Noen sejak debutnya, saya agak khawatir dengan film Tebusan Dosa.
Dari segi judulnya saja, Tebusan Dosa sudah merupakan bentuk transformasi dari judul-judul film Anggi Noen terdahulu yang terkesan ‘edgy‘ seperti Peculiar Vacation and Other Ilnes (Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya), Solo Solitude/Istirahatlah Kata-kata, Ballad of Blood and Two White Buckets, A Lady Cady Who Never Saw Hole In One, hingga The Science of Fictions/Hiruk-pikuk Si AlKisah.
Dalam segi penceritaan pun, Yosep Anggi Noen melakukan perubahan yang cukup revolusioner dalam gaya penyutradaraan. Walau masih setia dengan phase yang lambat, namun Tebusan Dosa jauh lebih ‘mudah’ dinikmati oleh penonton umum/mayoritas.
Berbeda dengan film-film Anggi Noen sebelumnya yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh segelintir sinefil. Jadi apresiasi untuk Anggi Noen yang rela ‘menanggalkan’ gelar raja slow-burnya untuk menggarap film Tebusan Dosa ini.
Unsur Air
Dalam salah satu wawancaranya dengan seorang content creator, Anggi Noen menjelaskan tentang makna sungai dalam film Tebusan Dosa.
Ia menyebut, sungai merupakan representasi dari batas. Sering kali film horor Indonesia berlatar di desa, daerah terpencil, hutan, dan lain sebagainya. Sementara itu, film Tebusan Dosa disemestakan berada di daerah sub urban atau perbatasan kota dan desa, yang mana sungai memiliki posisi penting sebagai penghubung sekaligus pemisahnya.
Kehadiran sungai ini tentunya mengingatkan dengan perumpamaan pertentangan kelas/lambang strata ekonomi yang sering dihadirkan Anggi Noen di film-filmnya seperti Botol Coca-Cola di film Istirahatlah Kata-kata serta Kaleng Kong Ghuan di film The Science of Fictions.
Lebih jauh, selain sungai, film Tebusan Dosa juga kental dengan berbagai unsur air, seperti penggambaran adegan hujan, shoot-shoot genangan air, hingga font di judul film dengan tipografi brush.
Dalam kosmologi Jawa, air dan sumber air/patirtan memiliki arti penting sebagai sumber kehidupan. Sementara itu, dalam filosofi budaya Jepang, air mengandung filosofi ‘Yin’ sekaligus dapat menjadi jembatan bagi masa lalu dan masa kini.
Filosofi dari dua budaya tersebut digambarkan dengan cukup baik oleh Anggi Noen melalui film Tebusan Dosa di mana air berpengaruh bagi kehidupan manusia. Ia bisa memberikan penghidupan tapi juga bisa mematikan.
Sebagaimana ungkapan Sebastian Junger dalam bukunya The Perfect Storm, bahwa kematian di dalam air sangatlah mengerikan. Junger mengatakan bahwa kondisi kehabisan udara dan tidak dapat bernapas adalah “penderitaan”.
Memaknai Kehilangan dan Memantik Harapan
Tebusan Dosa mengajarkan kita untuk memakai kehilangan dengan berbagai cara, ada yang seperti Wening, tak patah arang, terus berupaya mencari titik terang.
Ada pula yang seperti Tirta, alih-alih menyesal karena kehilangan banyak hal, ia lebih memilih pergi dan berdamai dengan diri sendiri.
Film ini juga berupaya menyalakan suluh harapan dengan penggambaran apik saat Wening dan Tirta membuat seribu buah origami bangau yang kemudian dihanyutkan di sungai tempat hilangnya Nirmala sebagai wujud harapan bahwa masih ada kesempatan Nirmala dapat ditemukan.
Anggi Noen menyebut, keberadaan origami bangau ini juga merupakan titipan dari harapan-harapan dari seluruh cast, crew, dan dirinya pribadi agar film ini dapat juga menyalakan harapan bagi penonton.
Apresiasi
Secara visual, tentunya Anggi Noen sudah sangat teruji. Di Tebusan Dosa banyak sekali scene aesthetic yang dishoot dengan balutan tone warna yang kelabu, sehingga menambah kesan gloomy dalam setiap adegannya.
Skoring dan tata artistik juga patut diberikan apresiasi. Lebih-lebih pemilihan soundtrack lagu Di Akhir Perang yang dilantunkan oleh Nadin Amizah menambah kesan elegan film Tebusan Dosa.
Entah karena kebetulan atau memang referensi musik Anggi Noen yang oke dan patut diacungi jempol, sebab di beberapa filmnya yang lain ia sempat menggunakan soundtrack yang juga ciamik seperti Tanda Seru milik Mustache and Beard untuk film 24 Jam Bersama Gaspar dan Bunga & Tembok milik Fajar Merah di film Istirahatlah Kata-Kata.
Keunggulan lain yang perlu diapresiasi tentunya adalah penulisan jalan cerita. Kolaborasi Anggi Noen dan Alim Sudio berhasil menciptakan film dengan phase yang lambat tapi tetap memiliki keinginan bercerita yang kuat dibuktikan dengan paruh awal film yang lebih dulu menanam berbagai clue serta mencoba menghidupkan suasana seram tanpa kemunculan setan/hantu.
Mengingatkan kita dengan series/film karya Mike Flanagan yang biasanya lebih suka menunjukkan ketakutan bukan lewat kemunculan hantu, tetapi berupa manifestasi rasa bersalah, trauma, dan dosa yang kemudian bertransformasi menjadi bentuk ketakutan itu sendiri.
Kalau sudah menonton film ini, pasti akan tau betapa kuat dan creepy-nya kalimat “Kamu yakin Ning?” yang berkali-kali keluar dan menghantui isi kepala Wening.
Tebusan Dosa cukup berhasil menghadirkan film horor yang humanis, mengingatkan saya dengan film-film seperti Exhuma, The Wailing, dan Munafik yang juga berfokus pada manusia bukan hantu/setan.
Meskipun horor-misteri yang coba diangkat sebenarnya bukan hal yang baru, tapi beberapa treatment kreatif dalam upaya menjahili penonton lewat jumpscare berjalan cukup efektif dan unik.
Kritik
Kritik yang pertama patut dimention adalah kehadiran tokoh Tetsuya sebagai orang Jepang kurang dikembangkan lebih maksimal. Alih-alih mencoba membuat Tetsuya menjadi karakter yang memiliki alasan kuat, ia justru hanya dihadirkan sebagai karakter yang diada-adakan.
Padahal ada banyak sekali kesempatan karakter yang sebenarnya unik ini dapat dimanfaatkan untuk menambah poin dan cerita dalam film ini.
Hal lain yang patut dikritik adalah tidak fokusnya pengambilan keputusan untuk treatment horor.
Sebagaimana diketahui, sebelum menelurkan Tebusan Dosa, Palari Films sebetulnya sudah mengeluarkan beberapa film dengan genre thriller dan misteri seperti Kabut Berduri (2024) dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021).
Maka tak heran jika Tebusan Dosa juga meniti jejak yang sama untuk membuat film bergenre thriller misteri dengan bumbu psychological yang sebenarnya cukup mumpuni.
Namun, saya membaca ada banyak keraguan dalam memilih genre utama film ini, sebab alih-alih memaksimalkan unsur psychological dengan lebih kental, Tebusan Dosa seperti terpaksa memasukkan elemen supranatural horor yang agak kurang.
Saya memahami betul hal ini mungkin dipilih sebagai upaya memperluas spektrum penonton, namun lagi-lagi sayang sekali caranya agak kurang tepat sehingga menimbulkan kesan horornya kurang proper dan memantik perdebatan soal genre/tema mana yang dominan.
Secara keseluruhan, Tebusan Dosa tetap wajib diberikan apresiasi karena sudah hadir menjadi film yang memiliki keinginan bercerita yang kuat.***
Penulis: Rizal Akbar
Editor: Annisaa Rahmah