Tuturpedia.com – Usai menayangkan cuplikan 14 menit scene pertamanya dalam gelaran Festival Film Asia Jogja-NETPAC ke-19 pada Desember 2024 lalu, Film Jumbo akhirnya tayang perdana secara umum pada 31 Maret 2025.
Film garapan Stand Up Comedian dan Animator, Ryan Adriandhy ini menjadi debut penyutradaraannya dibawah naungan Visinema Studios yang bekerjasama dengan Springboard dan Anami Films.
Sutradara jebolan Rochester Institute of Technology (RIT), New York, Amerika Serikat tersebut menggandeng lebih dari 400 pekerja industri animasi dari berbagai studio di seluruh Indonesia seperti; Afterlab, Ayena Studio, Caravan Studio, HawQ Studio, Dipadira Studio, Leomotions, Motion Circus Animation, Uqi Studios, Metadigi, dan lain sebagainya.
Selain itu, Ryan Adriandhy juga mengajak aktor dan aktris yang namanya moncer serta memperkenalkan beberapa aktor dan aktris pendatang baru di industri perfilman Indonesia untuk turut berperan mengisi suli suara untuk karakter-karakter di Film Jumbo, seperti; Prince Poetiray (Don), Quinn Salman (Meri), Yusuf Okzan (Nurman), Graciella Abigail (Mae), M. Adhiyat (Atta), Angga Yunanda (Acil), Bunga Citra Lestari (Ibu Don), Ariel Noah (Ayah Don), Ratna Riantiarno (Nenek Don), dan Kiki Narendra (Pak Kades/Pak Rusli).
Pada tujuh hari penyayangan, Jumbo sukses menggaet 1 juta penonton dan mengukuhkannya menjadi salah satu film Indonesia terlaris pada tahun 2025, sekaligus film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa.
Jumbo juga menjadi film animasi produksi Asia Tenggara dengan pendapatan tertinggi, lebih dari $8 juta, menggeser film Mechmanto dari Malaysia. Pada hari ke-19 penayangannya, Jumbo bahkan mampu melampaui jumlah penonton Frozen 2, sebagai film animasi terlaris yang pernah ditonton di Indonesia sepanjang masa.
Rencananya, Jumbo akan segera tayang ke 17 Negara di luar Indonesia seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Rusia, Ukraina, negara-negara Batik, serta negara-negara di wilayah Asia Tengah mulai Juni 2025 mendatang.
Sinopsis
Film ini mengisahkan tentang seorang anak yatim-piatu bernama Don yang kerap diremehkan kawan-kawannya karena punya tubuh yang gempal, hal inilah yang membuatnya dijuluki “Jumbo”. Don memiliki buku dongeng warisan dari kedua orangtuanya yang berisi cerita ajaib. Buku ini merupakan sumber inspirasi dan semacam pelarian bagi Don dari dunia yang tidak ramah padanya.
Suatu ketika, Don ingin membuktikan kemampuannya dengan mengikuti sebuah pertunjukan bakat yang digelar di Kampung Seruni, tempat Don dan kawan-kawannya tinggal. Rencananya, Don ingin menceritakan buku peninggalan orang tuanya.
Namun, buku tersebut diambil paksa oleh temannya yang bernama Ata sehingga membuat Don nyaris putus asa. Beruntungnya, Don memiliki dua orang sahabat yakni Nurman dan Mae yang turut berusaha membantu Don mengambil kembali bukunya.
Dalam usaha mengambil kembali bukunya, Don & Gengnya, tiba-tiba bertemu dengan Meri, seorang hantu misterius yang meminta bantuan mereka untuk menemukan kembali orang duanya yang hilang.
Pertemuan ini mengawali petualangan fantasi penuh keajaiban yang akan dialami Don sehingga merubah pandangannya tentang arti persahabatan, kepercayaan diri, keberanian, dan kelegowoan diri untuk mendengar orang lain.
Review dan Pembahasan (SPOILER)
Sebagai sebuah film animasi yang melibatkan ratusan orang dengan waktu pengerjaan lebih dari 5 tahun, kualitas animasi Film Jumbo memang bukan bukan kaleng-kaleng. Segala detil karakter hingga montagenya tampak diperhatikan secara rinci sekali sampai bagian yang paling minor. Ada dua jenis treatment animasinyang saya lihat diterapkan di film Jumbo, yakni yang bernuansa 3D realistis sebagaimana yang akan akrab kita lihat di keseluruhan film, serta animasi yang bernuansa 2D ilustrasi yang muncul saat adegan flashback dan dongeng. Maka jujur hal pertama yang membuat saya menangis saat menonton Jumbo adalah kesadaran bahwa industri animasi Indonesia sudah sampai pada tahap ini. Mungkin belum sejauh animasi ala Pixar atau Dreamworks, tapi Jumbo jelas merupakan peningkatan kualitas untuk animasi Indonesia yang sungguh luar biasa.
Sebagai sebuah film animasi, peran suli suara dalam film Jumbo juga berhasil menyampaikan energi positif pada penonton. Tak heran jika dalam beberapa kesempatan, Ryan Adriandhy bersikeras agar karakter-karakter anak di film Jumbo harus disuli suarakan oleh anak-anak, sebab memang terasa lebih autentik dan menyentuh sanubari penonton.
Karakter-karakter yang ada di film Jumbo punya background cerita yang kuat sekali, sebagai contoh adalah karakter Don yang seolah punya fantasinya sendiri dan pandangan yang unik soal dunia, ada karakter Nurman yang bersahaja, polos namun berenergi, serta setia, kemudian ada karakter Mae yang berprinsip, tegas, dan jeli, ada pula karakter Ata yang jail, badung, tapi cerdas dan sebenarnya punya sikap penyayang.
Keempat karakter ini digambarkan sebagai anak-anak yang tak punya peran orang tua, Don adalah yatim-piatu yang tinggal bersama neneknya, Nurman yang hidup bersama engkongnya, Mae yang tinggal bersama keluarga asuhnya, serta Ata yang hanya tinggal berdua bersama kakaknya.
Saya pribadi punya kesan khusus dan mendalam pada karakter Nurman yang memiliki karakter kuat. Karakternya mengingatkan saya pada dua tokoh, tokoh pertama adalah Mahar dari film Laskar Pelangi yang memang juga sudah dikonfirmasi oleh Ryan Adriandhy selaku sutradara film Jumbo, serta Nabi Muhammad SAW yang juga hidup bersama kakeknya sepeninggal orang tuanya, dan punya keseharian mengangon kambing. Selain itu, Nurman sepanjang film juga menunjukkan akhlak yang baik sekali, penyabar, tak mudah marah, dan punya pembawaan yang tenang.
Sementara itu karakter Mae yang bersifat tegas, dan jeli selalu mengingatkan pada Don agar dia mau mendengarkan orang lain. Mae juga kerap kali menyampaikan hal kecil yang berkaitan dengan manner atau concent, sebagai contoh saat kemunculan pertama karakter Meri yang masih berwujud ‘hantu’, tampak Nurman yang penasaran berusaha menyentuh Meri yang berkilau, Mae tanpa ragu-ragu langsung memberikan peringatan “Nurman, jangan gitu, izin dulu dong!”.
Hal ini mungkin terkesan sederhana. Tapi menurut saya, hal ini menyimpan ilmu dan pelajaran yang besar utamanya bagi anak-anak untuk tak sembarangan menyentuh, atau memegang orang lain.
Ada pula karakter Ata yang mengalami kehidupan paling keras dibanding kawan-kawannya yang lain. Ia menyimpan luka yang dalam, serta mengalami kesulitan dalam hal pengelolaan emosi. Walaupun Nurman adalah karakter favorit saya di film Jumbo, tapi Ata adalah karakter yang paling banyak menyentuh nurani saya. Saat scene ‘telor ceplok’, scene pendaftaran pentas, hingga scene saat ia bertamu ke kamar Don, sungguh sangat menyentuh dan memukul hati.
Jika kita membahas karakter, maka tak lengkap rasanya jika tidak membahas Don sebagai karakter utama. Menurut pengamatan saya, Don merupakan gambaran nyata anak-anak yang punya kelabilan emosi, merasa ingin diperhatikan, dan ingin menjadi spot light. Banyak pembahasan di internet yang menyebut bahwa karakter Don ini sangatlah menyebalkan, lebih-lebih di babak awal hingga pertengahan film, saat ia hanya mau didengar tanpa mau mendengarkan orang lain. Namun untungnya, di babak akhir film ia akhirnya sadar dan mau sedikit demi sedikit memperbaiki dirinya.
Entah banyak yang sadar atau tidak, tapi karakter Don yang sulit mendengarkan orang lain ini sebenarnya seperti sudah di ‘teas’ lewat perawakan fisiknya. Jika kita perhatikan telinga karakter-karakter di film Jumbo, hanya telinga Don saja yang tidak berongga/berlubang. Menurut saya, ini adalah detil yang jenius.
Nama karakter Don pun juga ternyata punya detil yang menarik. Dalam salah satu podcast, Ryan Adriandhy sempat berkelakar saat ditanya kenapa karakter utama film Jumbo bernama “Don”. Ryan lalu menjawab “Soalnya Don kan punya temen yang jadi ‘Geng’nya dia, nah nama Don sama Geng kalau digabungin jadinya Don-geng, atau Dongeng”. BOM! Menarik bukan?
Karakter lain pun banyak yang mencuri perhatian, sebagai contoh nenek Don yang selalu solutif, dua panitia pendaftaran yang bersifat ‘kontras’, karakter pak Kades yang misterius, dan tentunya karakter ayah dan ibu Don yang lembut. Khusus untuk Ayah Don yang disuli suarakan oleh Ariel Noah kembali mengingatkan saya pada semesta Laskar Pelangi. Sebagaimana kita tau, Ariel Noah pernah berperan sebagai Arai dewasa dalam film Sang Pemimpi (2009).
Berkaitan dengan cerita, sebenarnya sebagai sebuah film anak, Jumbo memiliki plot cerita yang agak rumit. Dengan beberapa secondary plot yang agak mematahkan fokus cerita utama sehingga penataan phasenya terasa kurang dan narasi ceritanya jadi melambat. Sebagai contoh, kehadiran secondary plot soal Meri dan keluarganya agaknya cukup memantik perdebatan, beberapa orang mungkin akan terganggu dengan kehadiran ‘keluarga hantu’ di film Jumbo yang terkesan aneh dan agak creepy. Namun, jika kita melihat karakter ini dalam kacamata ‘fiksi dan fantasi’, maka hal tersebut tetap masuk untuk ditonton.
Terlepas dari semua itu, untungnya, semua terbayar lunas dengan penyelesaian cerita yang pas, apik, dan tentunya terasa hangat sekali.
Masih berkaitan dengan jalannya cerita, film Jumbo juga mencoba memberikan banyak treatment yang unik. Sebagai contoh adalah penggunaan teknik foreshadowing yang mirip dengan teknik call-back dalam stand up comedy. Hal ini dapat dilihat saat penggunaan “Sap-Sap-Sap” dan “Fantastic-Gymnastic”.
Yang tak kalah mencuri perhatian, tentunya adalah skoring musik dan soundtrack film Jumbo yang sangat membekas. Lagu-lagu seperti remake Kumpul Bocahnya Vina Panduwinata yang dinyanyikan ulang oleh Maliq & D’essentials, Dengar Hatimu dari Prince Poetiray dan Quinn Salman, serta Selalu Ada Di Nadimu yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari sukses meninggalkan bekas di sanubari penonton.
Maka tak heran jika dalam beberapa kesempatan setelah menonton Jumbo, saya acapkali mendengar anak-anak kecil hingga remaja menyenandungkan potongan lagu Selalu Ada Di Nadimu.
Khusus untuk lagu Selalu Ada Di Nadimu, tampak ada pesan yang ditanamkan di dalamnya. Jika kita perhatikan keseluruhan lirik lagu, kemudian kita ambil masing-masing satu huruf di bagian awal lirik, maka akan terbentuk kalimat “Kami Akan Selalu Ada Di Nadimu”.
Hal menarik terakhir yang bisa saya bahas dalam review ini adalah kekuatan promosi film Jumbo yang total sekali. Promosi lagu dan “Dongeng Pulau Gelembung” di Spotify, penggunaan meme sebagai media promo di media sosial, bahkan hingga kehadiran “Buzzer Gratisan” yang tanpa lelah mempromosikan film Jumbo di internet meski tak dibayar. Maka tak heran jika gaung film Jumbo lantang sekali sampai ke mancanegara dan turut dipromosikan oleh beberapa produk animasi asal negara tetangga seperti Boboiboy, Upin Ipin, dan Ejen Ali.
Overall, film Jumbo membuka banyak harapan baru bagi Industri animasi di Indonesia. Maka kita tak perlu khawatir lagi, ‘skena’ animasi Indonesia akan sepi peminat, sebagaimana yang diungkapkan FazaMeonk saat menggaet Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024. Kita juga mungkin sudah harus mulai memberikan selamat pada Ryan Adriandhy yang sepertinya sudah pasti menyabet Piala Citra keduanya dalam gelaran Festival Film Indonesia 2025 mendatang.
Penulis: Rizal Akbar