Tuturpedia.com – Film Dua Hati Biru, yang merupakan sekuel dari film Dua Garis Biru (2019) telah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak Rabu, (17/4/2024) lalu.
Film yang menjadi kelanjutan kisah hidup Bima dan Dara tersebut masih disutradarai dan ditulis oleh Gina S. Noer. Namun, dalam penyutradaraan film Dua Hati Biru, Gina dibersamai oleh Dinna Jasanti.
Film ini dibintangi oleh Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Keanu Agl, Cut Mini, Arswendy Bening Swara, Lulu Tobing, dan Maisha Kanna.
Sinopsis Film Dua Hati Biru
Dua Hati Biru merupakan kelanjutan kisah Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau). Di film pertama, konflik terjadi saat pasangan remaja SMA itu melakukan hal di luar batas, hingga mengakibatkan Dara (saat itu diperankan Adhisty Zara) hamil di luar nikah.
Singkat cerita setelah melahirkan, Dara memutuskan untuk kuliah ke Korea Selatan dan meninggalkan Bima dan Adam, anaknya yang baru lahir.
Selama Dara pergi kuliah, Bima merawat putra mereka, Adam (Farrell Rafisqy) dibantu oleh kedua orang tuanya, Yuni (Cut Mini) dan Rudy (Arswendy Bening Swara).
Empat tahun setelahnya, Dara pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya di Korea Selatan. Masalah mulai muncul saat Adam belum bisa beradaptasi dengan kehadiran ibunya itu. Setelahnya mulai timbul berbagai macam konflik baru di keluarga kecil mereka.
Review film Dua Hati Biru (Spoiler Alert)
Di film Dua Hati Biru, Gina S. Noer masih setia dengan gaya directing-nya di film pertama. Salah satu andalannya adalah saat men-direct dialog berintensitas padat dan long shot dengan tata kelola blocking yang baik.
Seperti yang kita tau, di film pertamanya, ada adegan yang sangat iconic, yakni scene UKS. Saat itu, Gina sangat berhasil menggarap long-take panjang dengan dialog yang padat.
Di Dua Hati Biru, ada pula formula long-take yang coba diulang. Yakni adegan saat Ibu & Ayah Bima serta Ibu & Adik Dara datang ke rumah baru Bima dan Dara. Ada pula scene long-take dengan dialog padat dan intens saat ulang tahun Adam.
Menurut penulis, penggunaan teknik long-take sangat patut diapresiasi, sebab masih jarang sutradara yang memakai formula tersebut. Salut untuk Gina, Dinna dan Mawan Kelana selaku DoP (Director of Photography) film tersebut.
Lebih lanjut, editing film yang dibebankan kepada Aline Jusria dan Sastha Sunu juga patut diperhitungkan, sebab jika diperhatikan ada beberapa teknik editing yang cukup unik dan menjadi warna tersendiri bagi film Dua Hari Biru, salah satunya adalah penerapan teknik J&L Cut.
J&L Cut sendiri adalah opsi pengeditan film yang sederhana, tetapi efektif dan dianggap dapat membantu penonton tetap terlibat di tengah perubahan adegan.
Keduanya adalah jenis editing terpisah, atau transisi adegan dari satu gambar (video/visual) ke gambar lainnya, yang audio dan visual berpindah pada waktu yang berbeda. Apabila dalam J Cut, suara masuk mendahului visual, sedangkan dalam L Cut, visual mendahului suara.
Untuk tata kelola sound/suara, Gina menggaet Tofan Iskandar dan Hariopati Rinanto untuk mengatur skoring musik sound design yang berhasil meningkatkan intensitas adegan.
Lebih-lebih soundtrack di Dua Hati Biru juga cukup mencuri perhatian, ada lagu Growing Up dari Rara Sekar yang seolah menjadi ‘nyawa’ dan memberikan kesan magis di film pertama, dihadirkan kembali di film ini.
Ada pula lagu Satu-Satu dari Idgitaf, Tak Ada Keluarga yang Sempurna dari Hara, serta Asimetris dari Kunto Adji yang menambah apik film ini.
Kekurangan Dua Hati Biru mungkin terletak pada penulisan yang sepertinya terlalu padat sehingga terkesan buru-buru dalam alur dan perkembangan cerita.
Jika kita bandingkan dengan film pertamanya yang slowly but surely, di film keduanya ini konflik demi konflik, masalah demi masalah yang datang kurang terjahit dengan rapi, sehingga menimbulkan kesan terlalu padat dan tidak memberi ruang bagi penonton untuk ‘bernafas’.
Terkait dengan acting para pemeran Dua Hati Biru, ada banyak yang bisa kita bahas. Sebagai contoh karakter Bima yang diperankan secara apik oleh Angga Yunanda, penulis menilai ada perkembangan karakter yang kuat dalam sosok Bima ini.
Jika di film pertama Bima masih digambarkan sebagai anak SMA labil yang terkadang plin-plan, di Dua Hati Biru, Bima menjadi sosok ‘Family Man’ yang cukup baik.
Walau kadang masih bersikap keras kepala dan memiliki emosi yang tidak stabil, namun Bima sudah improve menjadi sosok yang penyayang, pekerja keras, dan penyabar.
Aisha Nurra Datau yang memikul ekspektasi tinggi juga berhasil memerankan karakter Dara dengan baik. Tanpa mengurangi rasa hormat dan mengecilkan kemampuan peran Adhisty Zara.
Tapi menurut penulis, Nurra Datau memang lebih cocok memerankan Dara sebagai sosok ibu muda yang lebih dewasa, ambisius dan penyayang.
Tapi dari keduanya yang benar-benar mencuri perhatian penulis adalah Farrell Rafisqy yang memerankan Adam dengan sangat apik.
Ia mampu berperan menjadi ‘bocil’ yang menggemaskan dan disayangi banyak orang. Saking bagusnya akting bocil itu, penulis jadi berharap Festival Film Indonesia (FFI) masukkan kembali kategori pemeran anak terbaik dan memberikan penghargaannya kepada Farrel Rafisqy.
Selain tiga karakter utama diatas, acting pemeran pendukung di Dua Hati Biru juga patut diperbincangkan. Ada Keanu Agl (berperan sebagai Iqi) yang mampu memberi warna lewat humornya yang worth it, Cut Mini dan Arswendy Bening Swara dengan chemistry yang juara, serta Lulu Tobing dan Maisha Kanna yang tenang dan intens.
Pembahasan Isi dan Teori
Walau tak sepadat film pertama yang nyaris di semua sisi memiliki easter egg dan metafora, tapi Dua Hati Biru juga memiliki beberapa makna yang wajib kita bahas.
Kehadiran kembali ondel-ondel dan kerang Dara merupakan easter egg untuk film pertamanya. Sebagaimana yang kita tahu, di film pertama Ondel-ondel melambangkan seorang perempuan yang tengah mengandung.
Mengingat, ada manusia di dalam ondel-ondel yang menggerakkan kemana akan pergi sementara Kerang Dara melambangkan virginity atau ‘Dara’ itu sendiri.
Di awal film saat Dara kembali ke Indonesia, ia harus melakukan pendekatan dan adaptasi dengan Adam. Pada pertemuan pertama, Adam selalu menolak saat ingin didekatkan dengan Dara, ia selalu menyebut “Mama bukan itu, Mama adanya di Hp.”
Sesuai dengan riset, Ibu memang harus menemani perkembangan anak pada usia 0 hingga 1000 hari sebab pada masa itu sangat mempengaruhi kepribadian anak.
Maka ketika Adam bertemu secara langsung dengan Dara sebagai ibunya ia merasa belum terbiasa bertemu langsung dengan ibunya tanpa perantara gawai.
Lebih lanjut, penggantian cast Dara dari Adhisty Zara ke Aisha Nurra Datau juga ternyata dibahas di film ini. Mungkin tak banyak yang sadar saat ada dialog Bima menyampaikan kerinduannya pada sosok ‘Dara yang lama’, yang kemudian ditanggapi oleh Dara yang ‘baru’ dengan kalimat “Dara yang sekarang bukan Dara pacar SMA kamu lagi Bima, Dara yang sekarang udah Evolve (Berkembang).”
Dialog tersebut menurut penulis merupakan sebuah statement yang diberikan oleh Dara ‘baru’ bahwa memang perlu treatment/perlu pembawaan yang baru dan berbeda dari sebelumnya.
Sebagaimana yang sudah penulis singgung di atas, bahwa Nurra Datau memang lebih cocok memerankan Dara versi lebih dewasa, sedangkan Adhisty Zara lebih cocok memerankan Dara versi remaja SMA.
Di Dua Hati Biru ada salah satu scene yang cukup menarik saat terjadi perdebatan ketika perayaan ulang tahun Adam. Kala itu, Dara yang putus asa berkeinginan untuk kembali ke Korea Selatan, hal ini tentunya ditolak seluruh anggota keluarga.
Pada keadaan yang panas itu, tiba-tiba datang Adam yang berkata “Mau kue enak.” Hal ini tentu mengingatkan kita dengan adegan di film Dua Garis Biru saat ada sisipan suara Google Maps “Jalan buntu, putar balik” saat scene lamaran.
Selain itu, kesukaan Adam kepada Ikan juga setia digambarkan sejak awal film, mulai dari boneka Ikan, balon ikan, ikan hias, hingga hobi menggambar ikan.
Secara filosofis, Ikan digambarkan sebagai hewan yang mampu bergerak maju di air dan melawan kerasnya air. Selain itu, ikan juga hewan yang pantang menyerah dengan segala keadaan dan kondisi air.
Ikan menurut pemahaman penulis merupakan penggambaran yang sesuai dengan Adam, anak berusia sekecil itu harus turut ‘terseret’ dalam berbagai masalah orang tuanya.
Dari segi konflik, Dua Hati Biru memberikan perspektif yang terbilang relate, lebih-lebih untuk keluarga muda yang masih struggle saat mengelola keluarga.
Masalah ekonomi, komunikasi antar suami istri, ambisi untuk hidup mandiri, permasalahan antara mertua dan menantu adalah beberapa konflik yang akrab ditemui di film Dua Hati Biru.
Tidak terlalu banyak metafora yang bisa penulis temukan di film ini, karena memang sebenarnya film ini terlalu dekat dengan realitas tanpa perlu disatirekan menggunakan metafora.
Hal ini merupakan keunggulan lain yang dimiliki oleh Dua Hati Biru karena masalah yang diceritakan dalam filmnya terasa sangat ‘berdamage‘ pada penonton, lebih lagi pada mereka yang sedang berusaha membangun keluarga harmonis yang penuh kebahagiaan.***
Penulis: Rizal Akbar
Editor: Nurul Huda















