banner 728x250
News  

Rasisme ‘Babi’, Konflik Penuh ‘Apriori’, dan Sensasi Tusukan Puluhan ‘Duri’ dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
banner 120x600

Tuturpedia.com – Pengepungan di Bukit Duri (The Siege at Thorn High) merupakan sebuah film thriller-action terbaru garapan sutradara Joko Anwar yang semakin mengukuhkan namanya sebagai sutradara yang ikonik dalam skena film Indonesia.

Film produksi studio legendaris MGM (Metro-Goldwyn-Mayer) Studios yang bekerjasama dengan production house Come and See Pictures ini sudah rilis sejak 17 April 2025.

Dalam film ini, Joko Anwar menggaet sejumlah aktor kawakan dan pendatang baru yang didominasi oleh remaja seperti; Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutter, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Farandi, Raihan Khan, Sheila Kusnadi, Millo Taslim, Bima Azriel, Landung Simatupang, Kiki Narendra, dan Emir Mahira.

Film ke-11 Joko Anwar ini mengangkat berbagai isu penting seperti kekerasan rasialis, konflik horizontal, korupsi, politik, pelecehan seksual, bahkan pendidikan.

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review) 8

Sinopsis Pengepungan Bukit Duri

Pengepungan di Bukit Duri berlatar pada tahun 2027 dan berfokus pada kehidupan Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti yang mengajar di SMA Duri, sebuah sekolah untuk remaja bermasalah. Selain mengajar, Edwin sebenarnya punya tujuan khusus untuk mencari keponakannya yang hilang.

Namun, dalam misi pencariannya itu, Edwin harus menghadapi masalah besar saat ia terjebak dalam sebuah pengepungan yang mencekam, mempertaruhkan hidup dan mati.

Tantangan Edwin jadi semakin besar tatkala sekolah tersebut justru berubah menjadi medan konflik akibat gejolak sosial yang dipicu oleh diskriminasi dan kebencian rasial yang mulai meluas di masyarakat.

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review) 9

Review Pengepungan Bukit Duri

Baru detik pertama saja, Pengepungan di Bukit Duri langsung membuat saya merinding dengan kehadiran logo Metro-Goldwyn-Mayer yang legendaris lengkap dengan auman singa yang begitu gagah dan ikonik.

Pada awalnya, film berjalan manis sekali, dengan diiringi gubahan lagu Guruku Tersayang karya Melly Goeslaw. Lirik “Pagiku Cerahku Matahari Bersinar” membuat opening film ini terasa lembut, hangat, dan menenangkan.

Tapi jangan senang dulu, setelah opening yang manis itu, Joko Anwar langsung mendorong kita menuju ‘Neraka’ super kelam yang penuh makian, perkelahian, penyiksaan, pelecehan, dan kerusuhan.

Berbeda dengan film-film Joko Anwar sebelumya yang seolah penuh teori dan disebarkan berbagai jenis easter egg, Pengepungan di Bukit Duri lebih terasa solid, intens, dan straight forward. Tanpa mau banyak berbasa-basi, film ini langsung memberikan gebukan bertubi-tubi pada penonton.

Konflik penuh Apriori seputar gesekan ideologi, isu rasialis, dan agama terasa kental sekali di film ini. Penggunaan istilah dan sebutan rasis yang mengasosiasikan etnis Tionghoa dengan babi juga terasa sangat membekas dan memekakkan telinga. Elemen kritik sosial yang coba disampaikan Jokan pun menambah kesan kelam di film ini, seperti kritik seputar pendidikan, agama, dan tentunya politik.

Maka, jangan heran kalau menonton film ini tiba-tiba timbul perasaan gelisah yang luar biasa, rasa tak nyaman, dan juga kesan terintimidasi yang rasanya persis seperti ditusuk ribuan duri. Artinya, film ini berhasil membangun suasana dan mentransfer ketakutan dan kekalutan pada perasaan penonton.

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review) 10

Cerita yang solid dan sequence yang penuh adegan mencekam tersebut lebih terasa ‘ngena’ lagi karena ditopang sinematografi yang apik dan ‘nyeni’. Pada film Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar masih mempercayai Ical Tanjung, juru kamera andalannya untuk menjadi pengarah sinematografi. Didukung pula dengan editing yang digarap langsung oleh Joko Anwar dan didampingi Erwin Prasetya serta Teguh Raharjo.

Topangan lain yang membuat Pengepungan di Bukit Duri semakin istimewa adalah skoring musik dan beberapa soundtracknya yang sangat ‘ngekick’. Selain lagu Guru Tersayang, ada pula lagu Nuansa Bening versi Keenan Nasution yang menurut saya pribadi sangatlah ikonik dan menimbulkan kesan yang baru sekali.

Kepiawaian Aghi Narottama yang didapuk menjadi music composer di film ini memang tak perlu diragukan lagi. Lebih-lebih di belakangnya ada sederet nama-nama beken di divisi sound departement seperti Ilham Rakan Dhawi yang pernah menggarap sound design untuk Basarawuhi di Desa Penari dan Anhar Moha, salah satu sound designer andalan Joko Anwar yang pernah diajak menggarap sound untuk film Gundala, Pengabdi Setan, dan Perempuan Tanah Jahanam.

Terkait dengan akting pemain, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Morgan Oey yang juga menampilkan performa terbaik sepanjang karirnya di film ini, tapi saya harus memberikan applaus dan apresiasi setinggi-tingginya pada Omara Esteghlal yang sukses menghidupkan karakter ‘paling bajingan’ dalam film Pengepungan di Bukit Duri. Agak aneh dan cenderung mengada-ada jika sampai nama Omara Esteghlal tak masuk di nominasi Pemeran Pembantu Pria Terbaik pada gelaran Festival Film Indonesia yang akan datang.

Hana Malasan, Endy Arfian, dan Fatih Unru juga memberikan performa apik di film ini. Bahkan Landung Simatupang, Shindy Huang, dan Kiki Narendra yang hanya muncul beberapa saat juga turut mencuri perhatian. Ada pula penampilan deretan aktor dan aktris muda berbakat Indonesia yang digaet Joko Anwar untuk bermain di film ini seperti; Satine Zaneta, Dewa Dayana, Faris Fadjar Munggaran, Florian Rutters, Farandika, Raihan Khan, dan Sandy Pradana.

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review) 11

Easter Egg dan Teori dalam Pengepungan Bukit Duri (SPOILER)

Sebagaimana disebut di awal, Pengepungan di Bukit Duri cenderung berjalan ‘normal’, lugas, dan straight forward, berbeda dengan beberapa film-film Joko Anwar sebelumya yang penuh teori dan easter egg. Maka jujur, saya pribadi merasa agak kesulitan untuk mencari petunjuk-petunjuk yang Joko Anwar sebar di film ini.

Tapi ya lagi-lagi, bukan Joko Anwar namanya kalau tak sanggup membuat penontonnya berpikir keras, berteori, dan berdiskusi pasca menonton filmnya. Sampai akhirnya saya menemukan beberapa hal unik dan ganjil yang bisa kita diskusikan bersama.

Hal pertama yang bisa menjadi teori tentunya adalah tanggal perilisan Pengepungan di Bukit Duri pada 17 April 2025. Bagi penonton setia Joko Anwar, tentunya sangat akrab dengan tanggal ini bukan? Tanggal ikonik yang muncul di semesta film Pengabdi Setan (17 April 1897, 17 April 1926, 17 April 1955, 17 April 1984).

Sebagaimana pernah disinggung dalam teori film Pengabdi Setan, angka 17-4 ini sering dikaitkan dengan Ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 17 serta Injil Matius 4:17, kedua ayat dari dua kitab suci dua agama tersebut sama-sama memiliki substansi isi tentang pertaubatan.

Masih berkaitan dengan angka dan tanggal, pada Film Pengepungan di Bukit Duri, jika kita jeli melihat frekuensi radio tentang siaran konflik dan kerusuhan maka kita akan menemukan angka 98.5 FM yang tentunya merujuk ke tahun 1998, bulan Mei. Kemudian, latar waktu Pengepungan di Bukit Duri adalah tahun 2027, jika kita kurangi dengan angka 29 (angka yang selisih tahun di film Pengabdi Setan), kita akan menemukan angka tahun 1998.

TUTURPEDIA - Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review)
Rasisme 'Babi', Konflik Penuh 'Apriori', dan Sensasi Tusukan Puluhan 'Duri' dalam Pengepungan di Bukit Duri (Sebuah Review) 12

Di awal film, kita ditampilkan Edwin muda yang tengah menggambar ‘sosok superhero’. Superhero ini menurut saya memiliki dua makna, makna pertama adalah easter egg untuk semesta adisatria lokal Bumi Langit, lebih-lebih karakter yang digambar Edwin tampak mirip dengan karakter Godam. Untuk diketahui, Faris Fadjar Munggaran yang berperan sebagai Awang kecil (kelak akan menjadi Godam) juga turut bermain pada film Pengepungan di Bukit Duri.

Kemudian yang kedua adalah gambaran foreshadowing bahwa pahlawan sebagai perlambang kebenaran dan kedamaian akan segera mati, sebagaimana line yang diucapkan Edwin muda “Yahh, mati”.

Nama cloud storage yang digunakan untuk menyimpan video Jefri yang diperankan oleh Omara Esteghlal saat melakukan pembunuhan adalah “Kudalaut”, nama Kudalaut sendiri tentunya mengarah ke teori “Seahorse” yang jika kita anagramkan akan membentuk kata “Herosase”, organisasi dalam film Pintu Terlarang.

Terkait penanaman karakter, menurut saya Joko Anwar juga tak sembarangan memberi nama karakter. Sebagai contoh, nama Edwin sebagai karakter utama, besar kemungkinan merefer ke nama sutradara Indonesia, yang juga bernama “Edwin”. Sebagaimana diketahui, Edwin pernah menggarap sebuah film berjudul “Babi Buta yang Ingin Terbang” yang juga dibintangi oleh Joko Anwar. Film garapan Edwin yang menggunakan “Babi” sebagai judul tentunya mengingatkan kita dengan ujaran kebencian pada etnis Tionghoa di film Pengepungan di Bukit Duri.

Nama Kristo yang diperankan oleh Endy Arfian juga memantik teori. Yang paling populer, nama “Kristo” mengarah kepada “Kristus” sebagai “Juru Selamat”, sebagaimana kita tau, Kristo menjadi patron utama film ini karena ia adalah sosok yang diyakini Edwin sebagai keponakannya, hal yang kemudian memantik harapan dalam diri Edwin. Namun ada pula teori lanjutan yang menganggap bahwa karakter Kristo akan bertransformasi menjadi Fake-Massiah atau Mesias Palsu, hal ini didasari argumen karena ternyata Kristo bukanlah keponakan Edwin.

Ada pula nama karakter Panca yang hadir di awal dan di akhir film. Panca ini tentunya berkaitan erat dengan “Pancasila” apalagi jika nama Panca disatukan dengan nama Silvi, kakak Edwin, maka kita akan menemukan pola seperti; Panca-Silvi > Pancasil V (angka 5 Romawi) > Pancasila.

Yang khas dari Joko Anwar juga adalah seringkali ia memasukkan unsur-unsur satire dan dark comedy. Jika kita perhatikan, SMA Duri yang menjadi latar film ini terlihat mencekam sekali, mirip seperti penjara lengkap dengan dua staff securitynya (diperankan oleh Max Metimo dan Iman Priyatna) yang persis seperti ‘tukang pukul’. Kontras sekali dengan sebuah SMA yang terletak di Bukit Duri, justru merupakan salah satu SMA favorit di Jakarta.

Satire dan dark comedy lain yang saya temukan adalah jokes soal ‘Gay’, serta scene saat kematian Rangga yang ‘diiringi’ iklan asuransi.

Teori terakhir yang saya temukan adalah bahwa semua yang terjadi di film Pengepungan di Bukit Duri sudah “diramalkan” dalam film Kala tentang Ramalan Kiamat Tanah Jawa oleh Jayabaya yang menyebutkan akan ada perang besar “Cina vs Jawa” dengan kalimat “Wong Jowo gari separo, Cino Londo gari sak jodho”.

Selain itu, ada pula beberapa ciri khas Joko Anwar yang tak muncul baik secara literal maupun tak eksplisit di film Pengepungan di Bukit Duri, sebagai contoh adalah kehadiran wanita hamil, walaupun ada cerita seputar kehamilan Silvi, kakak Edwin. Yang paling kentara tentunya adalah absennya Arswendy Bening Swara di film ini, padahal kehadiran Arswendy di film Joko Anwar sudah menjadi tradisi yang juga dinanti-nanti oleh para “pengikut teori Jokan”.

Overall, film Pengepungan di Bukit Duri layak diapresiasi sebagai tonggak baru lagi dalam kancah perfilman Indonesia. Walaupun ciri khas Joko Anwar sebagai sutradara adalah seringkali menitipkan teori dan easter egg di film-filmnya, semoga tak memecah fokus kita pada isu besar yang tengah ia coba sampaikan.***

Penulis: Rizal Akbar