BLORA, Tuturpedia.com – Grup WhatsApp kini bukan sekadar ruang obrolan, melainkan telah menjelma menjadi panggung politik alternatif. Di sanalah lahir para pengkritik paling vokal, paling berani, dan paling merasa tersisih—tokoh-tokoh yang di dunia maya tampak gagah, namun di dunia nyata nyaris tak terdengar.
Setiap pagi, kritik mengalir deras. Panjang, berlapis istilah berat, dan penuh tanda seru. Setiap kebijakan dianggap salah, setiap pejabat dinilai gagal. Namun ketika diskusi beralih ke aksi nyata, ruangan mendadak sunyi—seperti tong kosong yang telah kehabisan gema. Kamis, (18/12/2025).
Keberanian mereka berhenti di batas layar ponsel. Di forum resmi, mereka absen. Di ruang dialog terbuka, mereka memilih diam. Tapi di grup WhatsApp, mereka tampil sebagai penjaga moral dan penyelamat demokrasi.
Ironisnya, di balik kritik yang terus diproduksi, terselip satu harapan yang sama: diakui dan diberi jabatan. Kritik yang katanya demi rakyat ternyata tak jauh dari keinginan agar nama dipanggil, wajah diundang, dan posisi diberikan.
“Kalau tak direspons, mereka bilang dibungkam. Kalau tak diajak, mereka bilang dizalimi,” ujar seorang pengamat sambil tersenyum tipis.
Fenomena ini membuat kritik kehilangan daya gigit. Bukan lagi alat kontrol, melainkan sarana pelampiasan ego. Bukan lagi memperjuangkan perubahan, tapi memperjuangkan eksistensi.
Masyarakat kini semakin paham. Tidak semua yang lantang patut didengar, dan tidak semua yang sepi berarti tak bekerja. Sebab dalam politik, kerja nyata sering sunyi, sementara ambisi kerap berisik.
Dan pada akhirnya, publik belajar satu hal penting: kritik sejati tak butuh grup WhatsApp, apalagi tepuk tangan—ia butuh keberanian dan konsistensi.
Catatan: tulisan ini hanya sebuah refleksi















