Semarang, tuturpedia — Ratusan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang menggelar aksi demonstrasi masif menolak pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru oleh DPR.
Aksi ini berlangsung di tengah guyuran hujan deras pada Jumat, 21 November 2025, namun massa tetap memadati ruas Jalan Pahlawan, Semarang, Jawa Tengah, menjadikannya salah satu mobilisasi mahasiswa terbesar di Jawa Tengah hari itu.
Massa membawa berbagai spanduk dan poster yang memuat kritik tajam terhadap sejumlah pasal dalam KUHAP baru. Mereka menilai undang-undang tersebut secara fundamental berpotensi memperluas diskresi dan kewenangan aparat penegak hukum tanpa adanya pengawasan yudisial yang memadai, berujung pada ancaman terhadap hak sipil warga negara.
Ketua PMII Cabang Semarang, M Afiq Nur Cahya, menegaskan bahwa kekhawatiran terbesar berpusat pada perluasan tindakan upaya paksa.
“Sejumlah pasal dalam KUHAP baru memungkinkan tindakan seperti penyadapan, penyitaan, hingga penggeledahan dilakukan tanpa memerlukan izin hakim. Ketentuan semacam ini membuka ruang kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang. Ini adalah ancaman bagi warga biasa,” ujar Afiq di hadapan massa aksi.
Secara kontekstual, pasal-pasal ini dikritik keras karena dinilai mengizinkan penegak hukum untuk memblokir informasi dan menyadap tanpa kontrol pengadilan. Selain itu, Afiq menyoroti bahwa proses legislasi KUHAP berlangsung sangat cepat (mengebut pengesahan) dan minim partisipasi publik, sehingga masukan esensial dari masyarakat sipil diabaikan.
Sorotan Krusial: Penahanan, Restorative Justice, dan Disabilitas
PMII juga mengkritik substansi lain dalam KUHAP baru yang dianggap merugikan:
- Perlonggaran Penahanan: KUHAP baru dikhawatirkan memperpanjang masa penahanan dan penangkapan, bahkan membuka peluang penangkapan di tahap penyelidikan, yang seharusnya hanya mencari ada atau tidak adanya tindak pidana.
- Restoratif Justice yang Tidak Akuntabel: Ketentuan restorative justice (keadilan restoratif) yang diatur dalam KUHAP baru dikhawatirkan dapat disalahgunakan di tahap penyelidikan oleh penyidik, berpotensi menjadi alat intimidasi dan pemerasan, alih-alih pemulihan.
- Diskriminasi Disabilitas: Ketentuan mengenai penahanan bagi penyandang disabilitas mental atau intelektual turut mendapat kritik karena dinilai berisiko diskriminatif dan tidak akomodatif terhadap hak-hak kelompok rentan.
Tujuh Tuntutan Mendesak PMII Semarang
Dalam aksinya, PMII Semarang menyampaikan tujuh tuntutan mendesak yang ditujukan kepada pemangku kebijakan, mencerminkan agenda reformasi hukum yang lebih luas:
- Pencabutan pasal-pasal kontroversial yang dinilai mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
- Pengecaman terhadap tindakan represif dan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum.
- Peninjauan kembali KUHAP dengan berlandaskan nilai-nilai HAM.
- Reformasi Polri dan penguatan supremasi sipil.
- Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
- Penerbitan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk memperpanjang pemberlakuan KUHP dan KUHAP nasional.
- Penolakan terhadap klaim sepihak DPR terkait pencatutan nama lembaga atau individu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) penyusunan KUHAP.
PMII Semarang menegaskan bahwa demonstrasi ini adalah permulaan. Tiga langkah lanjutan disiapkan untuk mengawal revisi KUHAP, yaitu konsolidasi gerakan mahasiswa se-Jawa Tengah, advokasi kebijakan melalui audiensi, serta pendidikan publik mengenai dampak KUHAP.
“Gerakan tidak berhenti di jalan. Kami akan hadir dalam dialog kebijakan dan ruang publik agar KUHAP dievaluasi,” tutup Afiq, sembari menyatakan komitmen PMII untuk terus berkoordinasi dengan kelompok masyarakat sipil lainnya dalam mengawal agenda revisi UU ini.
Penulis : Rizal A
