Bengkulu, Tuturpedia.com – Gugatan yang dilayangkan oleh Pemerintah Kabupaten Lebong, soal tapal batas (tabat) antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong, kini bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Teranyar, MK menggelar sidang pleno dengan nomor 71/PPU-XXI/2023. Agenda sidang itu diikuti pihak pemohon dalam hal ini Bupati Lebong, Kopli Ansori dan Ketua DPRD Lebong, Charles Ronsen.
Sedangkan perwakilan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara diwakili oleh Asisten I, Rahmat Hidayat S.STP M.Si, di ruang rapat Setdakab Bengkulu Utara, Senin (20/11/2023).
DR. Harsanto Nurhadi SH, M.Si selaku ahli pemohon dalam agenda sidang itu menegaskan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara tidak secara jelas menyebutkan batas-batas wilayahnya. Serta hanya didasari pembagian wilayah daerah militer pada waktu itu.
Sementara Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lebong, sudah secara detail menyebutkan batas wilayahnya. Dalam hal berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara.
“Maka jelas disebutkan terdapat lima kecamatan yang merupakan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lebong. Salah satu kecamatan yang kemudian menjadi sengketa adalah Kecamatan Giri Mulya,” jelas saksi pemohon.
Sambung Harsanto, dalam hal ini pula terdapat ketidakjelasan batas wilayah Kabupaten Bengkulu Utara pada saat pembentukannya.
Sehingga perlu diberlakukan sebagai batas adalah UU Nomor 39 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lebong.
“Dalam undang-undang itu secara tegas menyebutkan Kecamatan Giri Mulya sebagai batas barat Kabupaten Lebong. Sedangkan pada faktanya pada saat itu Desa Padang Bano ada di Kecamatan Lebong Atas yang merupakan wilayah Kabupaten Lebong,” ucapnya.
Terlebih, ahli pemohon menilai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak berwenang menetapkan atau memindahkan cakupan wilayah.
Ini berkaitan dengan Permendagri nomor 20 Tahun 2015. Aturan itu terbit atas dasar nota kesepakatan, yang telah ditandatangani oleh pihak pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif kedua kabupaten tersebut.
Serta disaksikan oleh unsur Muspida Provinsi Bengkulu, pada 5 Februari 2007 lalu. “Nota kesepakatan itu lalu mengerucut menjadi Permendagri nomor 20 Tahun 2015,” terangnya.
Agenda persidangan ini turut menghadirkan Fitriani Ahlan Sjarif sebagai saksi ahli. Dia menyerukan bukti Undang-undang (UU) nomor 39 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang.
“Sudah jelas dalam penetapan Kabupaten Lebong, tentu pula batas-batas wilayah pasti telah ditetapkan,” tuturnya.
Dosen ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini pun menegaskan, penetapan batas wilayah berdasarkan Permendagri seolah-olah, menjadi “undang-undang” yang juga menetapkan Kabupaten Bengkulu Utara.
Ia membeberkan, jika di dalam konsideran Permendagri, batas wilayah didasari oleh kesepakatan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dan Lebong yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui nota kesepakatan.
Oleh karena itu, masih menurut Fitriani, norma pembentukan wilayah yang ditentukan Permendagri sebagai tafsir dari UU di atasnya itu, tidaklah tepat.
“Pembentukan Kecamatan Padang Bano (versi Lebong) didasari oleh UU nomor 39 Tahun 2003. Dilihat dari historistis, wilayah Padang Bano merupakan wilayah Kecamatan Lebong Atas,” sambungnya.
“Lalu setelah Kabupaten Lebong disahkan berdasarkan UU, wilayah Padang Bano secara geografis masuk dalam peta Kabupaten Lebong. Pembentukan Kecamatan di sini adalah materi muatan peraturan daerah. Tentu peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU,” tandasnya.
Sidang ini akan dilanjutkan pada 6 Desember 2023.***
Kontributor Bengkulu: Riki Santoso
Editor: Nurul Huda















