Tuturpedia.com — Keraton Surakarta tengah menjadi sorotan publik setelah wafatnya Pakubuwono XIII pada 2 November 2025. Kepergian raja yang memimpin sejak 2004 tersebut meninggalkan kekosongan kepemimpinan, sekaligus memicu munculnya dua klaim takhta yang memanaskan suasana internal keraton.
Sebagai langkah awal, Putra Mahkota Keraton Surakarta, KGPAA Hamangkunegoro, ditunjuk untuk menjalankan tugas raja selama masa transisi. Penunjukan ini dimaksudkan agar roda pemerintahan adat dan kegiatan keraton tetap berjalan sembari menunggu keputusan final mengenai suksesi.
Pihak keraton menyampaikan bahwa penunjukan Putra Mahkota sebagai pemangku tugas sementara merupakan bagian dari tradisi, hingga ada penetapan resmi tentang siapa penerus tahta berikutnya.
Tedjowulan Ajukan Klaim Penguasa Ad Interim
Situasi yang tadinya diharapkan berjalan tertib berubah hangat setelah muncul klaim kepemimpinan dari KGPA Tedjowulan. Ia menyatakan diri sebagai penguasa ad interim atau pemimpin sementara Keraton Surakarta.
Melalui juru bicaranya, pihak Tedjowulan menilai bahwa proses suksesi di keraton tidak harus selalu otomatis jatuh kepada Putra Mahkota. Menurut mereka, sejarah menunjukkan bahwa pemilihan raja bisa mempertimbangkan aspek kemampuan dan penerimaan internal keluarga keraton.
Dalam pernyataan semi-parafrase yang beredar, pihak Tedjowulan menegaskan bahwa suksesi tidak semata-mata soal garis keturunan. “Pemimpin bisa dipilih dari sosok yang dinilai paling mampu menjalankan tugas,” demikian kurang lebih pandangan yang disampaikan kubu Tedjowulan.
Pernyataan ini memicu perdebatan, terlebih karena masyarakat luas selama ini memahami bahwa garis keturunan adalah faktor utama dalam pewarisan takhta keraton.
Dualisme Kepemimpinan Keraton: Publik Dibuat Bingung
Kemunculan dua klaim kepemimpinan ini menimbulkan dualisme yang membuat publik bingung: siapa sebenarnya pemegang takhta sah Keraton Surakarta saat ini?
Di satu sisi, Putra Mahkota menjalankan tugas pengganti raja sebagai bentuk kelanjutan tradisi. Di sisi lain, Tedjowulan menyatakan bahwa ia mengambil peran pemimpin sementara demi menjaga stabilitas internal.
Kedua kubu menyampaikan bahwa tujuan mereka sama, yakni menjaga marwah dan kelestarian keraton. Namun, adanya dua pemegang klaim membuat situasi menjadi sensitif dan rawan gesekan.
Pengamat budaya Jawa menilai bahwa kondisi ini menunjukkan perlunya mekanisme pewarisan yang lebih jelas agar keraton tidak terus terjebak dalam perpecahan internal setiap kali terjadi pergantian raja.
Respons Internal Keraton dan Masyarakat Solo
Perpecahan ini mendapat beragam reaksi. Sebagian masyarakat Solo memilih menunggu sikap resmi dari pihak keluarga besar keraton. Ada pula yang menyayangkan bahwa peristiwa suksesi yang seharusnya menjadi momen sakral justru diwarnai perdebatan terbuka.
Pihak-pihak internal keraton masih terlihat berhati-hati memberikan pernyataan publik. Beberapa kerabat menyampaikan harapan agar proses suksesi dilakukan dengan musyawarah agar tidak mempermalukan nama besar keraton di mata masyarakat luas.
“Yang terpenting saat ini adalah menjaga wibawa keraton. Jangan sampai perbedaan pandangan menjadi tontonan yang tidak elok,” demikian pandangan dari salah satu tokoh keraton yang disampaikan kepada media secara semi-parafrase.
Mengapa Suksesi Keraton Sering Menjadi Polemik?
Keraton Surakarta bukan pertama kalinya mengalami perbedaan pandangan soal suksesi. Dalam sejarahnya, pergantian pemimpin keraton kerap memunculkan dinamika internal karena beberapa faktor:
– Belum ada satu pakem baku yang disepakati semua pihak mengenai tata suksesi modern
– Perbedaan interpretasi antara adat tradisional vs kondisi kekinian
– Faktor dukungan internal keluarga dan sentana dalem
– Peran politik dan sosial di luar tembok keraton
Pengamat budaya menilai bahwa selama tidak ada pakem tertulis yang disepakati bersama, potensi dualisme akan terus terbuka setiap kali terjadi pergantian raja.
Dampak Terhadap Citra Budaya dan Kepariwisataan
Konflik perebutan takhta Keraton Surakarta tidak hanya menjadi konsumsi internal keluarga keraton, tetapi juga berdampak pada citra budaya Jawa dan pariwisata Solo.
Keraton Surakarta merupakan salah satu destinasi budaya utama di Jawa Tengah. Dinamika eskalatif dapat memengaruhi kegiatan wisata, seni budaya, hingga agenda ritual adat yang menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Meski demikian, pemerintah daerah berharap situasi segera mereda. Upaya pendekatan persuasif disebut akan terus dilakukan agar stabilitas tetap terjaga.
Menanti Kejelasan: Siapa Raja Berikutnya?
Publik kini menantikan kejelasan siapa yang akan menjadi raja penerus takhta Keraton Surakarta. Harapannya, keputusan yang dihasilkan mampu diterima secara luas dan menjaga kelestarian nilai-nilai budaya Jawa yang menjadi warisan leluhur.
Hingga kini belum ada keputusan final. Kedua kubu masih berpegang pada argumen masing-masing, sementara masyarakat diimbau untuk menunggu pengumuman resmi dari pihak berwenang di lingkungan keraton.















