Blora, Tuturpedia.com — Dr. H.D. Djunaedi, Korwil Peradi Jawa Tengah sekaligus Dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang, menyoroti kejanggalan dalam penanganan kasus kecelakaan jatuhnya lift crane di proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah Blora, Jawa Tengah. Selasa, (28/10/2025).
Menurutnya, penetapan hanya satu orang tersangka dalam insiden tragis yang menewaskan lima pekerja tersebut menimbulkan pertanyaan besar terkait tanggung jawab pidana.
Satu Tersangka Dinilai ‘Janggal’
Kasus jatuhnya lift crane pada 8 Februari 2025 yang menewaskan 5 orang di RS PKU Muhammadiyah Blora telah menjadi sorotan publik. Pihak kepolisian telah menetapkan satu tersangka berinisial SG, yang merupakan Ketua Panitia Pelaksana Pembangunan.
Namun, Dr. Djunaedi menilai keputusan tersebut aneh dan janggal. Ia menegaskan bahwa dalam peristiwa pidana yang disebabkan oleh kelalaian (ketidak hati-hatian), pertanggungjawaban pidana seharusnya melibatkan seluruh pihak yang terlibat, terutama karena proyek ini dilakukan secara swakelola oleh pihak rumah sakit.
“Hal yang menarik itu hanya menjadikan satu orang tersangka, padahal itu peristiwa hukum yang harusnya menjadi tanggung jawab dari semua pihak,” ujar Dr. Djunaedi.
Teorik Hukum Pidana Menunjukkan Tanggung Jawab Berjenjang
Dr. Djunaedi, sebagai akademisi dan praktisi hukum, menjelaskan bahwa dalam teori hukum pidana, pelaku tindak pidana tidak tunggal. Kecelakaan kerja yang dijerat dengan pasal kelalaian menyebabkan kematian (Pasal 359 dan 360 KUHP) harus melihat adanya rantai pertanggungjawaban.
Ia memaparkan berbagai peran yang wajib diperiksa dalam kasus pidana, yaitu:
- Pelaku (Pleger)
- Yang menyuruh melakukan
- Penganjur
- Turut serta (Medepleger, Withwalker)
Menurutnya, tidak mungkin Ketua Panitia Pelaksana bertindak sebagai satu-satunya pelaku yang bertanggung jawab, mengingat dia bukan pihak yang secara fisik menjalankan lift crane tersebut.
Tanggung jawab juga harus dibebankan kepada pelaksana lapangan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pengambilan keputusan serta pengawasan proyek.
Soroti Tuntutan dan Pentingnya Pengungkapan Lebih Mendalam
Selain penetapan tersangka tunggal, Dr. Djunaedi juga mempertanyakan mengenai ancaman pidana yang dikenakan. Dalam audio, ia menyinggung tuntutan hukuman yang dianggap sangat ringan, yaitu dua bulan, untuk insiden yang mengakibatkan lima korban jiwa.
“Kalau melihat yang meninggal atau korbannya sampai lima orang, tuntutannya dua bulan dan dikenakan hanya satu orang, yaitu Ketua Panitia, ini menjadi hal yang janggal,” kritiknya.
Ia mendesak agar kasus ini diungkap lebih mendalam lagi, sehingga pertanggungjawaban tidak berhenti pada satu orang saja, namun mencakup semua pihak yang turut andil dalam kelalaian yang menyebabkan kecelakaan maut tersebut.
















