Tuturpedia.com – Trisna Dwi Yuni Aresta dari Migrant Care menyebut bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 di luar negeri (LN) menjadi penyelenggaraan terburuk dalam sejarah reformasi.
Hal itu disampaikan oleh Trisna melalui konferensi pers Jaga Pemilu di Gedung Permata Kuningan, Jakarta pada Sabtu (24/2/2024).
Adapun yang diungkapkan oleh Trisna yaitu mengenai pelaksanaan Pemilu 2024 di luar negeri, sebab ada pekerja migran yang tersebar di berbagai negara.
Menurut Trisna, seharusnya disadari bahwa pemilih di luar negeri merupakan pekerja migran yang semestinya memiliki jaminan hak politik untuk menyumbang suara pada pemilu.
“Agenda politik lima tahunan ini nampaknya memang sejak lama telah meninggalkan pekerja migran, namun pelaksanaan tahun ini kami nilai paling buruk dalam sejarah reformasi, dalam penyelenggaraan pemilu luar negeri,” ucap Trisna.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwasanya bukan hanya saja ditinggalkan, namun perolehan suara kerap kali dimanipulasi dan digunakan sebagai transaksi dalam politik.
Salah satu contoh berdasarkan pemantauan Migrant Care ialah di Hong Kong. Dia mendapati pekerja migran yang kecewa atas pelaksanaan Pemilu 2024.
“Dalam tahapan pelaksanaan ada satu ketiadaan sistem informasi yang memadai di lokasi pemungutan suara. Ini mengakibatkan terakumulasinya beberapa kerumunan sehingga menyebabkan satu desakan untuk chaos itu secara lebih masif lagi. Itu terjadi di Kuala Lumpur dan di Hong Kong,” kata Trisna.
Bahkan, kekecewaan itu datang karena surat suara untuk mereka tidak sampai.
“Surat mereka tidak sampai ke alamat mereka, padahal mereka telah melakukan coklit, mereka tidak pernah pindah majikan, alamat mereka masih sama dalam kurun waktu 12 tahun,” ungkap Trisna.
Kemudian Trisna mengungkapkan jika daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN) di Hong Kong hanya ada 41 persen dari total keseluruhan.
“Jumlah DPTLN Hong Kong mencapai 164.691 dengan dipecah melalui dua metode ada metode pos dan metode TPS. Namun, pengguna hak pilih total hanya sekitar 67.693, artinya hanya 41 persen dari seluruh total DPTLN,” tuturnya.
“Jika kita lihat dalam metode TPS, alokasi DPTLN TPS ada sekitar 2.390, namun yang datang ke lokasi hanya 753 artinya 31 persen. Ironisnya, tanpa verifikasi kejelasan surat suara, para pekerja migran yang datang sudah bela-belain izin ke majikan, terpaksa harus pulang kembali,” bebernya.***
Penulis: Annisaa Rahmah















