Tuturpedia.com – Setalah tahun lalu sukses menggarap film Berbalas Kejam dan berhasil menghantarkan pemeran utamanya, Reza Rahadian menyabet gelar aktor terbaik dalam gelaran Festival Film Indonesia 2023, sutradara Teddy Soeriaatmadja kembali menelurkan film terbaru berjudul The Architecture of Love.
Dalam project ini, Teddy mengajak beberapa aktor yang namanya sudah malang-melintang di industri perfilman tanah air seperti; Nicholas Saputra, Putri Marino, Jerome Kurnia, Jihane Almira, Omar Daniel, Arifin Putra, Imelda Therinne, Agla Artalidia, Willem Bavers, hingga Lydia Kandou.
Untuk diketahui, dari jajaran pemeran-pemeran tersebut tiga di antaranya sudah pernah menyabet piala citra dalam gelaran Festival Indonesia, yakni; Nicholas Saputra meraih piala citra untuk pemeran pria terbaik dalam film Gie (2006), Putri Marino meraih piala citra untuk pemeran perempuan terbaik dalam film Posesif (2017), dan Jerome Kurnia yang meraih piala untuk pemeran pembantu pria terbaik dalam film Penyalin Cahaya (2021).
Setengah lebih film produksi Starvision ini bersetting di Kota New York dan sukses memanjakan mata penonton dengan keindahan dan keunikan kota tersebut. Mulai dari keindahan panorama, hingga landscape gedung-gedung indah dan bersejarah.
Sinopsis Film The Architecture of Love
Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa ini berkisah tentang Raia (Putri Marino), seorang penulis best seller yang tak lagi mampu menulis karena mengalami trauma saat melihat suaminya berselingkuh.
Raia kemudian memutuskan terbang ke New York sekaligus mencari inspirasi untuk novel terbarunya. Kota ini, mempertemukannya dengan River (Nicholas Saputra), seorang arsitek yang misterius. Perjumpaan itu menjadi awal pertemanan ‘rahasia’ di antara keduanya.
Hubungan itu berlangsung hangat, River membantu meredakan Writer’s Block yang dialami Raia, dan Raia membantu meredakan trauma yang meneror River. Mereka bisa saling menyembuhkan, tapi ternyata tanpa diduga juga bisa saling melukai.
Review The Architecture of Love (Spoiler)
Secara umum, The Architecture of Love sebenarnya memiliki cerita yang cukup mudah ditebak dan diisi dengan dialog-dialog yang mungkin dianggap klise.
Apalagi bagi penyuka film romantis dengan cerita penuh analisis macam Titanic, Marriage Story atau Ethernal Sunshine of the spotless mind.
Namun, kesenangan menonton film ini sama sekali tidak berkurang karena jika ditilik dari segi seni peran, The Architecture of Love menonjolkan eksplorasi akting yang cukup baik, kedua lead aktornya tampil dengan dialog-dialog yang mengalir dan seolah sudah biasa memerankan karakter tersebut.
Di beberapa dialog bahkan ada selipan kata-kata yang cukup quotable dan dapat dipakai sebagai sumber kata-kata untuk caption di konten media sosial penonton.
Meskipun di beberapa kesempatan ada adegan yang membuat penonton merasa canggung, tetapi banyak juga adegan yang memantik penonton untuk larut dalam suasana riang, gemas, dan kalut.
Secara chemistry, Nicholas Saputra dan Putri Marino mampu meramu kecocokan yang sangat apik, kedua pemeran peraih piala Citra tersebut seolah membuktikan kapasitas mereka saat beradu akting di The Architecture of Love.
Boleh jadi pasca film ini, keduanya kembali dapat dihadiahi dengan nominasi pemeran utama pria dan perempuan terbaik.
Hal tersebut ditambah dengan pengemasan twist yang proper oleh Teddy Soeriaatmadja yang cukup berhasil membuat penonton saling memacu denyut jantung.
Walaupun lagi-lagi, bagi pecinta film misteri yang penuh plot-twist, twist yang ada di The Architecture of Love akan terkesan klise dan biasa saja.
Secara sinematografi mungkin The Architecture of Love menawarkan keindahan landscape kota New York yang ciamik, tapi dalam treatment kamera movement dan variasi shot terbilang cukup standar dan kurang dieksplorasi.
Beruntungnya landscape New York yang indah dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebab tiap lokasinya seolah-olah menjadi saksi bisu yang merekam kisah Raia dan River.
Yang tak boleh lewat diapresiasi tentunya musik skoring dalam The Architecture of Love yang sangat cocok sehingga berhasil membawa penonton menikmati suasana Jazzy nan syahdu dan elegan.
Penulis secara pribadi angkat topi untuk kerja cerdas Ricky Leonardi yang didapuk mengatur skoring musik dan soundtrack film ini.
Bedah Muatan Isi Film The Architecture of LoveÂ
Film ini mengangkat pengalaman-pengalaman traumatis antara Raia (Putri Marino) dan River (Nicholas Saputra) yang saling beradu temu.
Raia dan River seolah seperti dua sisi mata uang dalam koin yang sama. Sangat dekat, tapi beda, serupa tapi tak sama.
Walaupun keduanya memiliki rasa trauma, tapi cara mereka menangani trauma memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Raia dengan move on dan usahanya untuk beranjak dari kenangan lamanya, sedangkan River masih terjebak dengan kenangan masa lalunya.
Raia seolah sudah ingin membuka lembaran baru, sementara River tidak menerima cerita baru, karena baginya cerita baru yang hadir akan menghapus kenangan lama yang sudah pernah hadir di hidupnya.
Dalam penyampaian dan penggambaran penanganan trauma, The Architecture of Love tidak berusaha menjustifikasi salah satu dari mereka lebih baik daripada yang lain.
Hal ini menurut penulis merupakan treatment yang sangat cocok, sebab beberapa film Romance lain di Indonesia yang juga mengangkat kasus serupa seringkali menganggap penanganan trauma harus dipandang secara hitam dan putih, yang buruk dihukum, yang baik dipuji.
Padahal dalam penanganan trauma yang baik kadang ada beberapa sisi yang unik dan tidak bisa hanya dipandang benar salahnya, tapi harus dilihat secara luas kompleksitasnya dan ditangani secara proper.
The Architecture of Love berhasil menggambarkan bahwa pengalaman traumatis itu mampu memunculkan dampak yang berbeda pada setiap individu, ada yang mungkin sekuat Raia, tetapi ada juga yang tetap ingin ‘menari-nari’ dengan kenangan seperti River.
Keduanya menurut penulis bukanlah hal yang salah, sebab keduanya adalah cara manusia dalam menghadapi trauma dan luka mereka masing-masing.
Dari pondasi permasalahan kedua tokoh yang berbeda itu, penonton diajak berkeliling kota New York sambil melihat kedua tokoh itu seolah saling ‘adu trauma’, saling menyembuhkan, dan saling belajar satu sama lain.
Secara keseluruhan, The Architecture of Love menurut penulis layak dicap berhasil dalam memberikan gambaran realistis tentang perbedaan penanganan trauma yang seringkali dialami banyak orang.
Di akhir, penulis jadi ingat film produksi Starvision yang lain, yakni film Dua Hati Biru. Maka penulis akan mengakhiri tulisan ini dengan “Jika Dua Hati Biru mengajari kita tentang tumbuh, maka The Architecture of Love mengajarkan kita tentang sembuh.”***
Penulis: Rizal Akbar
Editor: Nurul Huda