Blora, Tuturpedia.com — Rasa keadilan masyarakat kembali diuji menyusul tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai terlalu ringan dalam kasus jatuhnya lift barang di proyek pembangunan Gedung Lima Lantai RS PKU Muhammadiyah Blora. Tragedi yang merenggut nyawa lima pekerja pada Senin, 18 Februari 2025, kini menuai sorotan tajam karena proses hukumnya dianggap janggal.
Praktisi hukum yang juga menjabat sebagai Komisi Pengawas Daerah (KOMWASDA) Peradi Kabupaten Blora, Sucipto, angkat bicara dan mengecam keras proses penegakan hukum dalam kasus ini.
Ia menilai tuntutan dua bulan penjara bagi satu-satunya tersangka sangat tidak sebanding dengan hilangnya lima nyawa. Kami, (30/10/2025).
“Hukum kita ini tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Sucipto dengan nada satir. “Orang yang tidak kebagian apa-apa ya pasti menilai dengan keadilan dan kebenaran kalau itu aneh dan janggal. Tapi kalau sudah kebagian, ya pasti bilang tuntutannya seperti itu bagus.”
Kejanggalan Tuntutan dan Jumlah Tersangka
Sucipto secara tegas menyoroti dua kejanggalan utama dalam kasus ini:
1.Tuntutan Terlalu Ringan: Pelaku dengan potensi ancaman pidana hingga lima tahun, kini hanya dituntut dua bulan penjara.
2. Tersangka Tunggal: Menurut logika hukum dan fakta lapangan, tanggung jawab atas insiden maut sebesar ini seharusnya melibatkan lebih dari satu pihak, terutama mereka yang bertanggung jawab pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan pengawasan proyek.
“Yang seharusnya tersangka lebih dari satu, tapi cuma dimasukkan satu. Yang ancamannya bisa lima tahun, malah cuma dituntut dua bulan. Bagi yang berpijak pada kebenaran, jelas aneh dan tak memenuhi rasa keadilan,” tegasnya.
Sentilan Pedas untuk Penegak Hukum
Sucipto bahkan membawa perbandingan filosofis tentang integritas penegak hukum. Ia menyindir, jika aparat penegak hukum benar-benar menjunjung tinggi keadilan sejati—seperti halnya Umar bin Khattab atau wali ulama yang tak tergoda materi—maka tuntutan seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Menurutnya, kasus ini menjadi cermin buram wajah penegakan hukum di daerah. Keadilan, dalam pandangannya, kini seolah hanya milik mereka yang memiliki kekuasaan dan kepentingan.
“Keadilan itu bukan untuk yang kebagian, tapi untuk kebenaran,” tutup Sucipto. Ia berharap kasus maut RS PKU Muhammadiyah Blora ini tidak menjadi simbol baru betapa mahalnya mencari keadilan di Indonesia, di mana nyawa lima pekerja harus “dibayar” dengan tuntutan yang minim dan proses hukum yang timpang.
