Tuturpedia.com – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap enam hakim MK usai melakukan pelanggaran kode etik pada (7/11/2023).
Pihak pelapor yang di antaranya adalah PBHI, TAPHI, Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani, Alamsyah Hanafiah mengajukan laporan terhadap 6 hakim, yaitu Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
“Amar putusan, memutuskan, menyatakan, para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” ucap Jimly Asshiddiqie, dikutip Tuturpedia.com dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI (7/11/2023).
“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor,” sebut Jimly dalam amar putusan kedua.
Hal di atas merupakan pengucapan Putusan Nomor 5 MKMK L/10/2023 mengenai dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Di dalam laporan, diduga adanya pembiaran yang kemudian menjadi kebiasaan dan berpotensi benturan kepentingan dengan dirinya sebagai hakim konstitusi.
“Di antara putusan yang telah dijatuhkan MK dalam persoalan pengujian norma berkenaan dengan dirinya sendiri adalah Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 dan Putusan Nomor 96/PUU-VIII/2020,” ujar Bintan R. Saragih.
Sehingga memuat fakta bahwa di antara pertimbangannya dalam memutus terdapat variabel pertimbangan yang berpotensi memunculkan benturan kepentingan.
Lebih lanjut, Bintan Saragih menyebutkan puncak potensi benturan kepentingan adalah yang melibatkan Ketua MK dalam menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Peristiwa hukum ini tidak akan terjadi apabila hakim konstitusi memiliki sensitivitas yang tinggi dan rasa waspada dalam menghadapi isu benturan kepentingan.
Dikatakan bahwa budaya saling mengingatkan telah hilang di antara sesama hakim saat menemui benturan kepentingan, yang kemudian menjadi persoalan tersendiri.
“Praktik pelanggaran benturan kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Karena para hakim konstitusi secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antar hakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh sehingga prinsip kesetaraan antar hakim terabaikan, dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi,” kata Bintan.
Terdapat Kebocoran Informasi RPH
Selain itu, salah satu anggota MKMK Bintan Saragih juga menuturkan soal pemeriksaan kebocoran informasi yang terjadi dalam persidangan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang tertutup.
Tercatat dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sidang Mahkamah Konstitusi bersifat terbuka kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Oleh karena itu, tidak semua orang bisa mengikuti RPH, hanya sembilan orang hakim konstitusi, pejabat kepaniteraan, dan staf pendukung.
Namun informasi mengenai pengambilan keputusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara rinci telah diketahui dan diterbitkan oleh salah satu majalah, selang beberapa hari perkara diputus.
Dari hasil pemeriksaan MKMK, kesembilan hakim konstitusi mengaku tidak tahu siapa oknum yang membocorkan informasi rahasia RPH.
“Oleh karena itu, Majelis Kehormatan tidak dapat meneruskan dan membuktikan ihwal kebocoran rahasia RPH terkait dengan penanganan dan pemeriksaan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dilakukan oleh siapa yang untuk apa,” ungkap Bintan.
Dengan begitu, MKMK menilai sembilan orang hakim konstitusi telah melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, khususnya pada butir penerapan 9 yang berbunyi “keterangan rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya dilarang dipergunakan atau diungkapkan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan tugas Mahkamah.”
Di sisi lain, MKMK merekomendasikan hakim konstitusi tidak lagi membiarkan kebiasaan praktik saling memengaruhi antar hakim dalam menentukan sikap pemeriksaan yang nantinya membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap independensi struktural kekuasaan kehakiman MK secara kelembagaan.
Serta merekomendasikan agar diadakan revisi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK, khususnya menghilangkan mekanisme Majelis Kehormatan Banding. Yang bila diperlukan, sebaiknya diatur dalam UU, bukan oleh MK.***
Penulis: Annisaa Rahmah
Editor: Nurul Huda
