Tuturpedia.com – Di Asia, ketenaran Liga Super Tiongkok lebih dahulu mencuat, ketimbang Liga Profesional Arab Saudi (SPL).
Memang diakui, saat ini Liga Super Tiongkok, kehilangan glamor sebagai tujuan akhir para pemain mega bintang sepak bola dunia.
Sedangkan, SPL, tengah mengalami kebangkitan. Hal itu, diawali dengan Cristiano Ronaldo yang berhasil diboyong Al-Nassr dari Manchester United di awal tahun.
Lalu, disusul nama-nama besar lain, seperti Karim Benzema, N’golo Kante, dan Ruben Neves.
Terbaru, gelandang versatille kebanggaan Manchester City, Bernardo Silva, juga digadang-gadang akan hijrah ke Liga Arab.
SPL bukan liga pertama di Asia yang mampu mencuri perhatian publik dengan rangkaian aktivitas transfer mereka.
Liga Super Tiongkok atau Chinese Super League (CSL), telah melakukan lebih dahulu, sebelum seperti SPL saat ini.
Mengutip dari The Asia Dialogue, ketenaran CSL, diawali dengan kebijakan dan visi Xi Jinping, dalam memajukan sepak bola.
Pada 2011, la mengungkap keinginannya agar Tiongkok dapat lolos kualifikasi, mampu menang bidding tuan rumah piala dunia, hingga menjuarai piala dunia.
Untuk menggapai keinginan tersebut, Xi Jinping bersama pemerintah Tiongkok mengeluarkan aturan yang mengharuskan semua sekolah memasukkan sepak bola sebagai kurikulum pendidikan jasmani.
Tentunya, hal tersebut untuk meningkatkan jumlah sekolah dengan lapangan sepak bola dari 5.000 menjadi 50.000 pada 2025.
Perusahaan-perusahaan besar dan miliarder sukses di Tiongkok didorong untuk melakukan investasi besar-besaran dalam perhelatan olahraga, baik untuk membiayai tim, fasilitas, agensi, dan sponsor, baik di dalam maupun luar negeri.
Pada Oktober 2014, pemerintah Tiongkok melalui Badan Administrasi Umum Olahraga merumuskan rencana yang cukup gila, yakni untuk membangun industri olahraga dengan modal sebesar $813 miliar hingga 2025.
Strategi ini melibatkan segala hal mulai dari mempromosikan olahraga hingga mendorong investasi asing di bidang olahraga dengan membuka proses persetujuan administratif yang sebenarnya sangatlah rumit.
Lebih-lebih jika menengok perkembangan sepakbola di dataran Tiongkok yang sebenarnya tidak begitu diminati masyarakat.
Pada akhirnya, sejumlah perusahaan Tiongkok, termasuk yang moncer namanya semacam Alibaba dan Wanda Group, serta raksasa properti Kaisa Group berinvestasi miliaran dolar untuk membantu pembangunan fasilitas olahraga baru di Tiongkok.
Hasilnya, ada 16 klub yang berpartisipasi di CSL dimiliki dan didanai oleh perusahaan besar di Tiongkok.
Selain urusan pembinaan, liga profesional pun diberi arahan untuk mengembangkan sayap.
Salah satu “jalan pintas” yang diambil adalah mendatangkan pemain-pemain top Eropa.
Tujuannya tak lain dan tak bukan, adalah untuk meningkatkan pamor liga dan menarik perhatian penonton.
Redupnya Liga Super Tiongkok
Investasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah dan pengusaha Tiongkok terus berjalan hingga 2018.
Menurut data yang bersumber dari ESPN, diperkirakan ada sekitar 187 juta penggemar sepak bola di Tiongkok dan rata-rata setiap tim memiliki 24.000 penonton di stadion mereka.
Namun, pada tahun yang sama, diberlakukan aturan keuangan baru untuk mengatur pengeluarkan biaya untuk klub dalam upaya pembelian pemain asing.
Menurut aturan ini, setiap klub tidak boleh mengeluarkan lebih dari £5 juta ($7 juta) untuk pemain asing, apabila kedapatan melanggar, klub harus membayar denda dengan jumlah yang sama kepada CFA.
Aturan ini lantas menghentikan arus kedatangan bintang-bintang sepak bola yang menuju Asia untuk mendapatkan gaji besar di masa akhir kejayaan mereka.
Hal ini membuat klub-klub di liga Tiongkok menjadi kurang menarik sehingga jumlah penontonnya menurun, yang mengakibatkan klub-klub harus berjuang untuk menutupi defisit keuangan.
Mereka pada akhirnya tidak mampu memenuhi gaji yang dijanjikan kepada para pemain, dan dukungan keuangan dari pemilik klub yang sangat kaya tiba-tiba terhenti.
Keadaan semakin diperparah saat Pandemi Covid-19 mulai melanda Tiongkok.
Menurut laporan The Guardian, banyak klub yang didukung oleh perusahaan real estate terkena dampak pandemi sehingga pendapatannya menurun karena pasar runtuh.
Tidak ada cara lain, para miliarder pemilik klub di liga Tiongkok segera menarik dana mereka.
Akibatnya, klub seperti Jiangsu Suning terpaksa gulung tikar, padahal pada musim sebelumnya, tim ini berhasil merengkuh gelar CSL.
Sementara, federasi sepakbola Tiongkok juga diguncang masalah lain.
Mengutip laporan Golbaltimes, Pada Februari 2022, presiden CFA Chen Xuyuan ditangkap atas tuduhan korupsi.
Pejabat lain juga dilaporkan sedang diselidiki karena “pelanggaran hukum yang serius”, termasuk mantan pelatih tim nasional Li Tie.
Kejadian-kejadian inilah yang kemudian menandai keruntuhan dominasi Tiongkok dalam percaturan sepakbola Asia.***
Penulis: Rizal Akbar
Editor: Rizal Akbar