BLORA, Tuturpedia.com – Dalam panggung politik lokal, ada satu drama klasik yang terus berulang: tokoh yang mengaku paling tersakiti oleh sistem, paling lantang mengkritik kekuasaan, dan paling keras menyuarakan moralitas. Namun, semua luka itu sering kali tiba-tiba sembuh saat satu hal datang mengetuk pintu: proyek.
Di ruang publik, mereka berbicara tentang etika, integritas, dan keberpihakan pada rakyat. Nada suaranya tinggi, gesturnya tegas, seolah tak sudi berkompromi.
Tapi di balik layar, komunikasi tetap berjalan. Kritik tetap dikirim pagi hari, sementara sore harinya mulai muncul kalimat khas: “Kalau demi kepentingan bersama, ya kita pertimbangkan.” Kamis, (18/12/2025).
Menariknya, saat tawaran proyek datang, respons mereka tidak pernah benar-benar menolak. Ada jeda sejenak, ekspresi ragu, lalu kalimat penutup yang terdengar sopan: malu-malu mau. Prinsip yang tadi dikawal ketat perlahan dilipat rapi, disimpan, dan menunggu momentum lain untuk dikeluarkan kembali.
Seorang pengamat menyebut fenomena ini sebagai politik penyembuhan instan. “Sakit hati politik itu bukan hilang karena klarifikasi, tapi karena ada alokasi,” ujarnya setengah bercanda.
Ironi makin terasa ketika kritik tetap dipelihara, meski kerja sama sudah berjalan. Di satu sisi masih mencela, di sisi lain menikmati hasil. Moralitas dijaga di depan publik, kompromi dirawat di belakang panggung.
Publik pun mulai membaca pola. Bahwa tidak semua kemarahan lahir dari idealisme, dan tidak semua kritik bertahan ketika berhadapan dengan keuntungan.
Sebab dalam politik, luka paling cepat sembuh adalah luka yang diberi ruang, proyek, dan pengakuan. Dan begitulah, sakit hati tetap dipamerkan—asal tak mengganggu kerja sama yang sudah terlanjur nyaman.
Catatan: Tulisan ini hanya sebagai refleksi
