Indeks

Menepi Sejenak di Rawaseneng: Antara Susu Sapi, Sunyi Pertapaan, dan Doa Jam 3 Pagi

Pertapaan Santa Maria Rawaseneng (Rizal Akbar)

Temanggung, Tuturpedia.com — Sebuah jalan kecil di lereng Gunung Sindoro membawa siapa pun yang melintas ke suasana yang tak biasa. Di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, berdiri sebuah kompleks pertapaan Katolik yang mungkin tak banyak dikenal, tapi menyimpan ketenangan yang langka: Pertapaan Santa Maria Rawaseneng.

Dari kejauhan, tak ada tanda-tanda kemegahan. Tak ada menara tinggi, tak ada keramaian khas tempat ziarah. Hanya hening, udara segar, dan lanskap hijau yang mendominasi pandangan. Namun siapa sangka, di balik keheningan itu, para rahib menjalani hidup yang sangat teratur—dimulai dari pukul 3 pagi, dan ditutup menjelang pukul delapan malam—tanpa gadget, tanpa media sosial, tanpa percakapan yang tak perlu.

Di sinilah hidup dijalani dalam diam. Bukan karena tidak ingin bicara, tetapi karena memilih untuk menyimak suara yang lebih dalam: suara batin, dan dalam iman mereka, suara Tuhan sendiri.

Bukan Sekadar Biara, Tapi Juga Rumah Susu dan Roti

Rawaseneng bukan hanya tempat doa. Di bagian depan kompleks, ada museum kecil, kafe sederhana, dan toko oleh-oleh yang menjual berbagai produk rumahan. Uniknya, semua produk ini—dari susu segar hingga keju, yogurt, roti, hingga kukis kastengel—diolah langsung oleh para rahib dibantu warga sekitar.

Peternakan sapi perah mereka bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ini bagian dari prinsip hidup monastik: “Ora et Labora”, doa dan kerja. Yang menarik, awal mula peternakan ini tidak besar. Hanya lima induk sapi yang dibawa dari Belanda pada 1956. Setahun kemudian, ditambah sapi-sapi dari Australia. Hari ini, jumlah sapi di sana sudah mencapai ratusan, dengan hasil susu segar sekitar 600 liter per hari.

Setiap subuh dan sore, para rahib memerah susu dengan tangan. Tapi pengunjung tidak bisa sembarangan datang melihat prosesnya. Sapi-sapi mereka dijaga dengan ketat dari stres. Bukan hanya karena etika peternakan, tapi juga karena stres bisa mengurangi produksi susu. Sungguh, bahkan hewan pun diajak hidup damai di sini.

Dari Suster Lembang Hingga Kukis Tanpa Pengawet

Perjalanan produk olahan di Rawaseneng tidak terjadi seketika. Pada akhir 1950-an, para rahib belajar membuat keju dari seorang awam di Lembang bernama Tuan Meyer. Dari sinilah pengetahuan soal fermentasi dan penyimpanan berkembang. Untuk membuat kastengel misalnya, kejunya harus disimpan lebih dulu selama tiga bulan pada suhu minus sepuluh derajat.

Semua roti dan kukis buatan mereka tidak memakai bahan pengawet. Tidak juga memakai aditif rasa. Itu sebabnya rasanya khas, berbeda dengan roti-roti supermarket. Ada rasa sederhana yang sulit dijelaskan—seolah waktu dan keheningan ikut dipanggang bersama adonannya.

Produk-produk ini dijual di gerai mereka, dan juga dipasarkan ke beberapa kota besar termasuk Jakarta. Anda bisa membeli secara online, bahkan melalui Tokopedia atau memesan langsung lewat WhatsApp pengelola. Harganya? Mulai dari dua puluh ribuan.

Tradisi Lama, Napas Timur, dan Gaya Hidup Sepi yang Dipilih

Banyak orang mengira pertapa hanya ada dalam cerita-cerita spiritual Asia: bhiksu di pegunungan Tibet, atau petapa di gua-gua India. Padahal, tradisi bertapa juga hidup dalam Gereja Katolik, dan Rawaseneng adalah satu contoh nyata.

Sejarah hidup membiara dalam Katolik justru berakar dari Timur Tengah, khususnya di padang gurun Mesir. Pada masa awal Kekristenan, banyak orang meninggalkan dunia untuk hidup dalam keheningan dan doa. Dari situlah tumbuh komunitas-komunitas pertapa yang kemudian dikenal sebagai biara. Rawaseneng adalah cabang dari Biara Koningshoeven di Belanda, dan mengikuti semangat ordo Trappist—sebuah kelompok yang memilih hidup kontemplatif dalam diam dan kerja tangan.

Tidak semua rahib di sana adalah pastor. Kebanyakan dari mereka adalah frater biasa yang memilih hidup selibat seumur hidup dan tidak berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Mereka tidak libur berdoa, tidak ada akhir pekan, dan hari-hari dihabiskan dalam siklus doa dan kerja.

Tempat Menepi, Bukan Melarikan Diri

Rawaseneng terbuka untuk dikunjungi. Ada wisma retret bagi mereka yang ingin mengalami sedikit dari hidup kontemplatif. Tapi tentu saja, pengunjung tidak bisa sembarangan berbicara dengan para rahib. Pemisahan ruang tetap dijaga agar keheningan tidak terganggu.

Namun justru di situlah daya tariknya. Di zaman yang penuh distraksi, tempat seperti Rawaseneng bukan sekadar tempat religius—ia adalah tempat untuk diam, merenung, dan menepi. Bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk kembali ke dalam diri sendiri.

Dan siapa tahu, di antara secangkir susu hangat, sepiring kastengel, dan doa subuh yang sunyi, Anda bisa menemukan sesuatu yang telah lama hilang: kedamaian.***
Penulis: Rizal Akbar || Editor: Permadani T.

Exit mobile version