Indeks

Memaknai Keutamaan Malam Terakhir Ramadhan dan Malam Hari Raya Idul Fitri

Ilustrasi salat Idulfitri jemaah Aolia di Gunung Kidul. Foto: pexels.com/didno76
Ilustrasi salat Idulfitri jemaah Aolia di Gunung Kidul. Foto: pexels.com/didno76

tuturpedia.com – Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan memiliki keutamaan yang luar biasa, terutama karena di dalamnya terdapat malam penuh berkah, Lailatul Qadar. Rasulullah SAW memberikan contoh kepada umatnya dalam menghidupkan malam-malam terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah yang lebih intensif.

Menyadur dari NU Online yang diulas oleh Ustadzah Tuti Lutfiah Hidayah, Alumni Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sayyidah Aisyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW memperbanyak ibadah, menghindari hubungan suami istri untuk sementara, membangunkan keluarganya di malam hari, serta menghabiskan waktu dengan lebih banyak beribadah kepada Allah. Bahkan, beliau sampai meninggalkan tidur malam demi beribadah.

Artinya, “Dari Aisyah RA, ia berkata: ‘Rasulullah SAW, ketika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya’.” (HR Bukhari-Muslim).

Selain meningkatkan ibadah di malam-malam terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk menghidupkan malam pertama bulan Syawal, yaitu malam takbiran sebelum Hari Raya Idulfitri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Umamah RA:

Artinya: “Dari Abu Umamah dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Barang siapa menghidupkan (dengan ibadah) malam dua hari raya karena mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari semua hati mati.’”

Hati yang mati merujuk pada hati orang-orang yang lalai, cinta dunia, dan bergelimang dalam kemaksiatan. Sementara itu, mereka yang menghidupkan malam hari raya dengan ibadah termasuk golongan yang tidak terikat oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati mereka tetap hidup dan terhindar dari su’ul khatimah di akhir hayat.

Para ulama, seperti As-Shan’ani dan Al-Munawi, menyebut bahwa menghidupkan malam hari raya adalah tanda kebangkitan hati yang bebas dari kecintaan terhadap dunia. Imam Nawawi menjelaskan bahwa malam hari raya dapat dihidupkan dengan berbagai bentuk ibadah, seperti shalat, zikir, tadarus Al-Qur’an, serta membaca takbir.

Mengenai durasi ibadah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Pendapat pertama, yang dianggap lebih kuat oleh Imam Nawawi, menyatakan bahwa keutamaannya hanya dapat diraih jika menghidupkan sebagian besar malam.
  2. Pendapat kedua menyebutkan bahwa cukup dengan beribadah sesaat saja.
  3. Pendapat ketiga, sebagaimana dinukil Al-Qadhi Husain dari Ibnu Abbas, menyatakan bahwa keutamaan itu bisa diperoleh dengan melaksanakan shalat Isya berjamaah serta memiliki tekad kuat untuk mendirikan shalat Subuh secara berjamaah.

Sebaiknya, kita berusaha menghidupkan malam hari raya dengan cara pertama. Jika tidak mampu, cara kedua bisa menjadi alternatif. Namun, jika itu pun sulit dilakukan, setidaknya perkuat niat untuk menunaikan shalat Isya dan Subuh berjamaah sebagai bentuk ibadah.

Di penghujung Ramadhan ini, marilah kita meningkatkan semangat beribadah guna meraih kemuliaan Lailatul Qadar serta menghidupkan malam hari raya sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan selama bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah ini menjadi sarana bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan, membersihkan jiwa, dan memperbanyak amal kebaikan.

Malam takbiran juga menjadi momen kebersamaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Bertakbir bersama, melantunkan pujian kepada Allah, serta merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa adalah bentuk kebahagiaan yang hanya terjadi sekali dalam setahun.

Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya agar hati kita senantiasa hidup dalam cahaya keimanan dan meraih keberkahan di dunia serta akhirat.

Wallahu a’lam. (afp)

Exit mobile version