Tuturpedia.com – Berbeda dengan lumpia dari daerah lain, lumpia Semarang memiliki isian utama berupa rebung yang diambil dari bambu muda dengan tambahan telur dan udang.
Ciri khas tersebut membuat lumpia menjadi buah tangan wajib dari Semarang yang juga dikenal sebagai Kota Atlas.
Rupa-rupanya resep khas tersebut lahir dari pernikahan yang menyatukan dua budaya, yakni Tionghoa dan Jawa di Semarang.
Lumpia Semarang dirintis sekitar 1870-an oleh pasangan Tjoa Thay Yoe yang berasal dari Fujian, Tiongkok, dan seorang perempuan Jawa bernama Mbok Wasi atau Warsih yang sama-sama berprofesi sebagai penjual makanan.
Lumpia dari kata Hokkien pia yang berarti kue sejatinya adalah kuliner dari dataran Cina yang mengandung daging babi.
Namun, untuk menyesuaikan dengan masyarakat Jawa yang sebagian besar beragama Islam, isian lumpia Semarang diganti dengan rebung.
Pengolahan rebung pun memerlukan teknik yang tepat agar tidak menghasilkan bau yang tak sedap.
Bergenerasi keturunan mereka kemudian mempopulerkan lunpia sebagai kudapan khas Semarang. Di antaranya yang telah melegenda adalah Lumpia Gang Lombok di daerah Pecinan, Lumpia Mbak Lien di Jalan Pemuda, dan Lumpia Mataram di Jalan M.T. Haryono.
Kios lumpia juga mudah ditemukan di jalan besar Semarang dari Jalan Gajahmada, Jalan Mataram (kini Jl. MT Haryono), Jalan Pandanaran, hingga Jalan Pemuda
Dengan harga yang bervariasi dari 15.000—25.000 per buah, lumpia tersedia dalam pilihan tekstur kulit yaitu lumpia basah yang lembek dan lumpia goreng yang renyah.
Umumnya wisatawan dari luar kota, atau para pemudik Lebaran 2024 akan membeli lumpia basah yang tahan lebih lama dalam lemari pendingin untuk kemudian digoreng hingga garing saat akan dikonsumsi.
Lumpia semarang juga khas dengan penyajian yang disertai acar timun, daun bawang, dan saus dari bawang putih, gula, dan tepung maizena yang kental dan manis.
Bagi yang suka sensasi pedas, lumpia Semarang bisa disantap bersama cabai rawit.***
Penulis: Fadillah Wiyoto
Editor: Nurul Huda
