Tuturpedia.com – Meski berakhir imbang tanpa gol, bentrok antara Manchester City dan Inter pada Kamis (19/9/2024) dini hari waktu Indonesia adalah bukti yang makin menegaskan pembenaran soal penerapan format baru Liga Champions musim ini.
Alih-alih harus menunggu sampai fase gugur demi bisa menyaksikan laga panas dua klub top papan atas, Fase Liga yang mulai diterapkan di Liga Champions musim ini membuka peluang terjadinya big match sejak awal.
Nyatanya, pertemuan kedua klub malam itu di Etihad berakhir dengan skor kacamata bukan karena minimnya peluang yang mampu diciptakan masing-masing kubu.
Salah satu peluang besar yang dibuat Henrikh Mkhitaryan sukses membuat pelatih Simone Inzaghi melampiaskan kekesalannya ke tanah begitu celah tersebut gagal dieksekusi jadi gol.
Inter, yang pergerakannya benar-benar dibatasi sang tuan rumah sehingga hanya sanggup menciptakan sejumlah peluang saja, nyaris “dihukum” lewat dua peluang emas Ilkay Gundogan jelang akhir laga.
Pada akhirnya, reuni yang digelar lebih dari setahun sejak final Liga Champions di Istanbul tahun 2023 lalu menyisakan perasaan campur aduk di dalam diri masing-masing pelatih: menyesal karena harusnya menang, lega karena tidak jadi kalah.
Sejak dikomandoi Pep Guardiola, tak sulit bagi Manchester City untuk mencetak kemenangan. Termasuk di ajang Liga Champions yang masih menggunakan format fase grup seperti sebelum-sebelumnya.
Faktanya, kekalahan terakhir City di fase grup sudah terjadi enam tahun yang lalu saat mereka takluk 2-1 di hadapan Lyon. Setelah itu, klub Manchester biru itu selalu melalui fase grup dengan begitu mudahnya.
Setidaknya, pertemuan kedua klub pada matchday pertama fase liga menjadi pengingat bagi anak buah Guardiola bahwa lolos ke fase gugur tak akan lagi semudah musim-musim yang lalu.
Sebegitu perkasa dan terkalahkan City sampai-sampai Inter mendarat di Manchester dengan status underdog. Hanya saja, Beneamata jelas bukanlah juara bertahan Serie A karena faktor keberuntungan semata.
Duet Matteo Darmian dan Carlos Augusto yang disiplin menyisiri sektor sayap hingga menembus pertahanan City bukanlah satu-satunya alasan Guardiola sepertinya sakit kepala nyaris sepanjang laga.
Masih ada Nicolo Barella, yang performanya selama pertandingan berlangsung merupakan bukti nyata mengapa dirinya terpilih jadi player of the match malam itu.
Ia tak hanya jago menemukan banyaknya celah di lini tengah tuan rumah, tapi juga sanggup mengirim bola dengan begitu cepatnya ke arah Marcus Thuram maupun Mehdi Taremi.
Beruntung, ada Ederson yang sukses terus menjaga gawangnya tetap bersih hingga akhir, termasuk satu aksi saat dipertemukan dengan Augusto di babak pertama.
Tembakan itu hanyalah satu dari total 10 tembakan yang dilepaskan Inter di babak pertama. Padahal, belum pernah ada lawan yang berhasil mencatatkan jumlah tembakan yang sama pada paruh pertama ketika berjumpa City di Liga Champions sejak Februari 2017 silam.
Sebagai pelatih veteran dengan rentetan gelar di portofolionya, jelas Guardiola tak buta dengan situasi berbahaya yang mengancam anak buahnya. Ia pun langsung melesat ke ruang ganti begitu peluit tanda jeda half-time ditiup agar bisa segera memulai instruksi untuk babak berikut.
Gundogan pun masuk sebagai pengganti Kevin De Bruyne, yang mengalami cedera pada babak sebelumnya. Savinho pun ikut ditarik untuk digantikan dengan Phil Foden. Alhasil, pasukan Guardiola berhasil mengambil kendali pertandingan.
Peluang demi peluang tercipta, termasuk tembakan langsung Foden ke gawang Yann Sommer usai build-up bikinan Jack Grealish, plus dua tandukan Gundogan yang dijamin membuat anak buah Inzaghi deg-degan tak karuan.
Seperti yang sudah diketahui, skor kacamata tetap bertahan sampai akhir pertandingan. Dan untuk kedua kalinya dari total 42 laga kandang di Liga Champions sejak City dilatih Pep Guardiola, mereka gagal mencetak gol sampai akhir.
Terlepas dari hasil tersebut, kedua pelatih sama-sama mengungkapkan kepuasan mereka dalam wawancara pasca pertandingan.***
Penulis: K Safira
Editor: Annisaa Rahmah