tuturpedia.com — Beberapa hari terakhir, jagat X/Twitter dihebohkan dengan beredarnya sebuah foto yang memperlihatkan Fritz Fernandez atau lebih akrab dikenal sebagai Fufuritsu, General Manager (GM) JKT48 memegang kue ulang tahun dengan bentuk yang terkait erat dengan konten asusila. Berdasarkan temuan penulis, foto tersebut pertama kali diunggah oleh akun @updatesjekeyti pada tanggal 7 Juli 2025, pukul 13:17 WIB yang hingga tulisan ini dibuat (9/7) telah meraup 4,1 juta tayangan, 5000 likes, 2,7 ribu retweet dan kutipan, serta lebih dari seribu reply.
Tak sampai di situ, beredar pula foto lain yang diduga masih berkelindan dengan perayaan ulang tahun Fufuritsu, sebagai contoh adalah foto yang diunggah oleh akun @kentank_gorenk_ yang menampilkan tulisan; “Rela melarat demi JKT48” yang menjadi bagian atau properti dari perayaan ulang tahun GM JKT48 tersebut.
Foto tersebut lantas memantik keriuhan yang cukup besar di media sosial X, utamanya dalam skena fandom JKT48. Banyak penggemar menyayangkan kejadian ini, sebab selain mencoreng muka JKT48, kasus ini juga dianggap sebagai wujud degradasi moral. Lebih jauh, beberapa penggemar bahkan menyebut Fritz Fernandez dalam posisinya sebagai general manager dari sebuah grup yang secara keseluruhan anggotanya adalah perempuan telah melakukan penghinaan pada nilai-nilai arif dari gerakan “save our idol“.
Lantas bagaimana sebenarnya perjalanan kasus ini? Apa sebenarnya yang tengah terjadi? Dan bagaimana dampak yang mungkin saja timbul?
Berdasarkan analisa yang coba penulis rangkum, setidaknya ada tiga poin bahasan yang dapat memberikan penjelasan terkait kehebohan yang terjadi, yakni; Kue Ulang Tahun, Intersubjektivitas, serta Runtuhnya Kepercayaan.
1. Kue Ulang Tahun
Trend ‘Porn Cake‘ yang seringkali menampilkan kue perayaan dengan bentuk-bentuk cenderung vulgar sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Terbaru, foto influencer Nita Vior yang menghadirkan porn cake di perayaan Bridal Shower-nya juga sempat menuai pro dan kontra. Namun, dalam kasus Fufuritsu ini, timbul kesan yang sangat fatal dan cukup vital sebab dianggap nyata-nyata telah mendegradasi pandangan moralitas terkait posisinya sebagai pimpinan dari sebuah manajemen pengelola grup yang seluruh talentnya adalah perempuan. Lebih-lebih kue ‘vulgar’ yang ia pegang dibubuhi kalimat yang juga tak kalah tak senonohnya.
Menurut pandangan penulis, sebenarnya apabila Fufuritsu menggelar perayaan ini secara pribadi, maka hal ini sah-sah saja, walaupun tentu tetap memantik banyak tanya dari banyak pihak pula. Sayangnya, berbagai bukti dari footage foto yang beredar justru berkata sebaliknya. Hadirnya tulisan “Rela melarat demi JKT48” serta penampakan foto Fritz yang dibubuhi logo JKT48 pada perayaan hari ulang tahunnya itu seolah menjadi afirmasi dari Fritz sendiri bahwa ia dan JKT48 adalah dua bagian yang seolah tak terpisahkan, sehingga segala opini pembelaan yang terkait erat dengan bahasan soal bias Intersubjektif jadi tak lagi relevan.
2. Intersubjektivitas
Dalam konsep ilmu sosial dan psikoanalisis, Intersubjektivitas adalah konsep yang merujuk pada pemahaman bersama antar individu dalam memaknai interaksi. Lebih jauh dari persepsi, Intersubjektivitas juga menguji pengalaman individu yang saling mempengaruhi dan membentuk pemahaman kolaboratif.
Dalam kasus kue ulang tahun Fufuritsu, nyaris keseluruhan fans JKT48 memiliki pemahaman kolaboratif yang sama bahwa Fritz telah menciderai citra fans dalam perjuangan kolektif untuk melindungi member.
Sebagai informasi, banyak sekali kejadian yang seringkali melibatkan fans JKT48 dalam upaya pelurusan stigma dan perlawanan pada pelaku-pelaku sexual harassement baik yang sepak terjangnya ada di dalam internal maupun external fandom. Hal ini agak ironis sebab sejauh yang pernah terjadi, jarang sekali manajemen sebagai pihak yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela talentnya saat terjadi kasus-kasus utamanya yang terkait erat dengan pelecehan verbal di internet terkesan lepas tangan menurut pengamatan fans.
Jika kembali ditilik melalui kacamata Intersubjektivitas yang memiliki fungsi menjadi penjelas terhadap makna dalam hubungan sosial, maka kasus beredarnya foto Fritz seolah meruntuhkan tembok yang dibangun bersama oleh fans terkait citra JKT48 dan fandom di mata khalayak umum. Analoginya persis seperti saat fans sedang berupaya melawan ‘para penyerang’, justru Fritz sebagai representasi manajemen malah ‘mengikat’ tangan fans, sehingga para penyerang secara leluasa mampu memukul-mukul fans dan secara serampangan membangun citra negatif mereka sendiri terhadap JKT48 dan fandomnya.
3. Runtuhnya Kepercayaan
Keruntuhan kepercayaan mengacu pada kondisi hilangnya keyakinan pada seseorang, kelompok, lembaga, atau sistem tertentu yang konteksnya dapat terjadi dalam hubungan pribadi, organisasi, komunitas, dan segala ruang atau wahana yang skalanya lebih besar.
Runtuhnya kepercayaan dapat didasari oleh berbagai faktor seperti; Ketidakadilan, pengkhianatan, ketidakjujuran, egosentrisme, kurangnya transparansi, hingga buruknya kinerja. Berbagai faktor itu dapat mempengaruhi banyak hal dalam jalannya hubungan sosial seperti potensi timbulnya konflik, kerusakan hubungan, ketidakstabilan sosial, hingga perpecahan.
Dalam konteks kasus kue Fufuritsu, timbul semacam ketidakpercayaan bersama dalam kepala fans bahwa Fritz Fernandez sebagai General Manager JKT48 dianggap telah gagal menjaga citra manajemen yang dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino berkepanjangan apabila tak segera ada pernyataan resmi yang setidaknya dapat menjelaskan situasi apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Wujud nyata runtuhnya kepercayaan fans dapat ditilik dari mengudaranya tagar #fufuritsuOUT yang melangit dan nyaris merajai trending Twitter selama hampir 3 hari berturut-turut.
Maka, dalam memahami dan menarik makna pada kasus ini, penulis teringat dengan sebuah kalimat yang dilontarkan oleh orator ulung asal negeri paman Sam, John C. Maxwell; “Kepemimpinan berdiri di atas dasar kepercayaan. Saat kepercayaan rapuh, maka pemimpinnya akan segera runtuh”.
Sebagai penutup sekaligus pengingat, penulis ingin menyampaikan saran yang sekiranya dapat dilakukan oleh manajemen secara umum dan Fritz Fernandez secara khusus agar segera melakukan tindakan dan respon yang arif dalam upaya menanggapi situasi.
Tanpa bermaksud mendegradasi dan melupakan segala jasa Fritz Fernandez selama menahkodai JKT48, penulis berharap agar ia segera muncul ke permukaan untuk memberikan penjelasan terhadap situasi yang tengah menimpanya. Apabila ia merasa yang ia lakukan adalah salah, maka permohonan maaf secara terbuka adalah langkah konkret dan tepat untuk meredam berbagai spekulasi yang sudah mulai liar beredar. Namun, jika ia tetap tak merasa bersalah dan memiliki anggapan bahwa yang ia lakukan adalah hal yang lumrah, maka penulis tak bisa menjamin bahwa situasi akan tetap baik-baik saja atau berjalan sebagaimana biasanya.
Bahkan, bukan tidak mungkin ‘hal-hal besar’ yang menjadi muara efek domino dari kasus ini akan segera terjadi di kemudian hari. Termasuk ketakutan bersama yang selama ini menghantui benak banyak orang, yakni; Downfall-nya JKT48.