BLORA, Tuturpedia.com – Di tengah riuh rendah demokrasi, muncul satu tipe politikus yang selalu setia hadir di setiap momentum: korban sakit hati politik. Mereka dikenal rajin mengkritik, konsisten menyindir, dan tak pernah absen menyalahkan kekuasaan—terutama ketika kamera tidak lagi mengarah ke wajah mereka.
Kritik dilontarkan bukan karena kebijakan, melainkan karena nama tak disebut. Opini ditulis bukan karena nurani, tetapi karena kursi tak kunjung datang. Semakin sepi panggung, semakin pedas kata-kata yang keluar. Kamis, (18/12/2025).
Uniknya, kritik mereka nyaris selalu personal, meski dibungkus jargon kepentingan rakyat. Setiap keputusan dianggap keliru, setiap pejabat dicurigai, setiap kebijakan dinilai cacat—kecuali satu hal: kemungkinan diri mereka sendiri yang tak dipilih.
“Kalau diajak bicara, itu demokrasi. Kalau tak diajak, itu oligarki”.
Ironi mencapai puncaknya saat para pengkritik abadi ini diam-diam terus memantau daftar jabatan. Mereka mencela kekuasaan di pagi hari, lalu berharap ditelepon di sore hari. Prinsip keras di depan publik, fleksibel saat pintu kekuasaan sedikit terbuka.
Lebih pedih lagi, kritik sering berubah menjadi amarah ketika pengakuan tak kunjung datang. Bukan kebijakan yang ingin diperbaiki, melainkan ego yang ingin diakui. Bukan sistem yang ingin dibenahi, tetapi wajah yang ingin tampil kembali.
Publik kini makin paham. Tidak semua kritik lahir dari keberanian. Sebagian lahir dari kekecewaan yang tak tersalurkan. Dan tidak semua oposisi sedang melawan kekuasaan—ada yang hanya tersingkir sementara, sambil menunggu giliran.
Karena dalam politik, yang paling bising sering kali bukan yang paling peduli,
melainkan yang paling belum kebagian peran.
Fenomena ini bukan hal baru. Di panggung politik, kritik sering kali bukan lahir dari idealisme, melainkan dari belum kebagian peran. Saat kursi masih kosong di depan mata, kritik diproduksi massal. Namun begitu peluang terbuka, prinsip bisa disimpan rapi di laci paling bawah.
Ironisnya, mereka tetap mengklaim diri sebagai oposisi sejati. Padahal, langkah kaki justru selalu mengarah ke pusat kekuasaan. Kritik dijadikan alat tawar, bukan alat perubahan.
Masyarakat pun diharapkan mulai jeli. Tepuk tangan kini tak lagi mudah diberikan. Senyum politikus yang dulu dielu-elukan, kini dibalas tatapan skeptis.
Karena pada akhirnya, rakyat paham satu hal sederhana: yang benar-benar kritis adalah mereka yang tetap berani bersuara meski tak dijanjikan jabatan.
Catatan: tulisan ini hanya sebagai refleksi















