Blora, Tuturpedia.com — Di ruang publik yang kian bising, fenomena adol cemong—jualan omongan tanpa data dan tanggung jawab—makin mudah ditemui. Mereka lantang berbicara, gemar menyebar isu dari mulut ke mulut, namun sering kali goyah ketika disentil oleh kritik atau sindiran yang menyentuh kepentingannya. Jumat, (19/12/2025).
Alih-alih berbenah atau membuka ruang dialog sehat, sebagian adol cemong justru bereaksi berlebihan. Sindiran dianggap serangan, kritik dipersepsikan sebagai ancaman. Dari situlah api kepanasan muncul, mendorong mereka mencari cara untuk menjatuhkan balik, termasuk melalui upaya membunuh karakter lawan.
Metode yang digunakan pun beragam: menggiring opini di grup percakapan, menyebar narasi setengah benar, hingga memainkan isu personal yang tak relevan dengan substansi. Tujuannya satu, mengaburkan fakta dan merusak kepercayaan publik terhadap sosok yang dianggap mengganggu kenyamanan mereka.
Ironisnya, praktik ini sering dibungkus seolah demi moralitas, kepentingan umum, atau perjuangan rakyat. Padahal, yang dipertahankan tak lebih dari ego dan kepentingan pribadi. Ketika omongan tak lagi laku diuji logika, serangan personal menjadi senjata pamungkas.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat membutuhkan kedewasaan. Kritik dan sindiran semestinya dijawab dengan argumen, bukan dengan karakter assassination. Sebab, publik kini semakin cerdas—mampu membedakan mana kritik tulus, mana adol cemong yang kepanasan karena tersindir.
Catatan: Tulisan ini hanya sebagai refleksi















