Jakarta, Tuturpedia.com – Rencana pemerintah untuk menerapkan sistem rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis kompetensi pada tahun 2026 mendapat sorotan tajam. Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengingatkan bahwa perubahan skema ini tidak akan berjalan efektif jika tidak dibarengi dengan peningkatan mutu rumah sakit (RS) daerah secara signifikan.
Menurut Edy, mengubah alur rujukan dari yang selama ini berjenjang menjadi berbasis kompetensi tidaklah cukup. Persoalan mendasar terletak pada ketimpangan kualitas layanan, fasilitas, dan tenaga kesehatan di RS tipe C dan D yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat di daerah.
“Jangan hanya mengubah alur. Perbaiki alat kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di rumah sakit yang selama ini di tipe C dan D,” tegas Edy di Jakarta, Senin, (24/11/2025).
Kekhawatiran Pasien Menumpuk di RS Besar
Saat ini, sistem rujukan dilakukan secara berjenjang dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke RS tipe C atau D, sebelum akhirnya dirujuk ke RS tipe A. Pemerintah berencana mengubah pola ini agar pasien dari FKTP dapat dirujuk langsung ke RS sesuai kondisi medis dan kompetensi layanan.
Namun, Edy khawatir, tanpa intervensi yang memadai, transformasi ini justru akan menumpuk pasien di rumah sakit besar, alih-alih meratakan pelayanan. Keberhasilan skema baru ini sepenuhnya bergantung pada kesiapan RS daerah untuk menangani kasus yang lebih beragam.
“Ketimpangan kualitas layanan kesehatan masih menjadi tantangan terbesar yang berpotensi membuat skema rujukan baru justru menumpuk pasien di rumah sakit besar,” jelasnya.
Desakan Intervensi Pemerintah: Pinjaman Lunak Hingga Insentif Pajak
Edy mendesak negara untuk tidak lepas tangan dan segera memberikan intervensi serius. Ia menyarankan agar pemerintah membantu rumah sakit daerah meningkatkan kompetensi mereka.
“Pemerintah harus bantu rumah sakit daerah meningkatkan kompetensi, misalnya lewat pinjaman lunak berbunga 2 atau 3 persen atau insentif pajak untuk alat kesehatan,” usulnya.
Menurut Edy, penyediaan layanan kesehatan yang layak adalah mandat konstitusi. Jika tidak ada intervensi yang memadai, transformasi rujukan berbasis kompetensi dikhawatirkan hanya memindahkan beban tanpa menyelesaikan akar persoalan pelayanan.
“Transformasi ini tidak boleh mengorbankan rumah sakit daerah. Justru harus memperkuatnya agar layanan kesehatan tidak timpang,” tutup Edy, menegaskan perlunya upaya serius untuk menghadirkan pemerataan layanan bagi seluruh masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah mengumumkan bahwa perubahan sistem rujukan berjenjang menjadi rujukan berbasis kompetensi akan diberlakukan mulai tahun 2026.
