Tuturpedia.com – Jepang mulai melepaskan air radioaktif yang telah diolah menjadi pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi. Pelepasan limbah ke Samudera Pasifik ini akibat pembangkit listrik yang hancur disebabkan tsunami dan gempa bumi yang melanda Jepang tahun 2011.
Keputusan ini sempat mendapatkan tinjauan dari badan pengawas nuklir PBB. Badan tersebut mengatakan bahwa pembuangan limbah tersebut hanya akan memberikan dampak radiologis yang tidak dapat diabaikan oleh lingkungan dan manusia.
Dikarenakan keputusan mendesak Jepang ini, beberapa negara menjadi khawatir. Salah satunya China yang sejak 24 Agustus 2023 mulai menangguhkan impor ikan perairan, seperti makanan laut dari Jepang.
Apa yang Menyebabkan Munculnya Air di Pembangkit Listrik Fukushima?
Pada hari Kamis (24/8/23) pejabat TEPCO menyatakan katup dekat pompa transportasi air laut sudah mulai dibuka. Ada sebanyak 350 juta galon air limbah yang disimpan di lebih dari seribu tangki di PLTN Fukushima.
Apa yang menyebabkan adanya air di PLTN Fukushima Daiichi?
Dikutip dari laman NPR pada Senin, (28/8/23), pasca gempa dan tsunami yang terjadi di tahun 2011 yang lalu, beberapa reaktor PLTN Fukushima Daiichi meleleh. Untuk mengantisipasi bencana alam lainnya terjadi, pekerja di sana akhirnya membanjiri reaktor dengan air.
Air tersebut menjadi cepat terkontaminasi dengan bahan kimia yang ada. Baik pembangkit dan reaktornya kali ini sudah tidak berfungsi kembali. Namin, reaktor masih perlu didinginkan yang menyebabkan air limbah terus menumpuk.
Bukan hanya menyebabkan tumpukan air, limbah juga menyerap ke dalam air tanah dan sebagiannya telah terkontaminasi. Hal inilah yang menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Jepang selama 12 tahun lamanya.
Sebab tangki yang semakin memenuhi lokasi penyimpanan, pemerintah Jepang akhirnya memilih opsi untuk membuang sebagian air ke Samudera Pasifik.
Upaya Jepang untuk Meminimalisir Senyawa Radioaktif
Sebelum pelepasan limbah ke Samudera Pasifik, tentu Jepang melalui berbagai proses untuk menghilangkan sebagian besar isotop radioaktif dari air.
Menurut laman NPR, Kamis (24/8/23), sistem Advanced Liquid Processing System (ALPS) dipilih Pemerintah Jepang karena dapat menghilangkan beberapa kontaminan radioaktif yang berbeda-beda di air tersebut.
Namun sayangnya, ada salah satu isotop yang tidak bisa tersaring oleh sistem ini, yaitu tritium. Tritium adalah isotop hidrogen dan hidrogen adalah bagian dari air itu sendiri (H20). Jadi hal yang tidak mungkin untuk menghilangkan isotop ini.
Meskipun begitu, Jepang mengklaim jika tritium memiliki dampak yang tidak terlalu buruk dibandingkan bahan radioaktif lainnya.
Tritium melalui peluruhan radioaktif yang relatif lemah dan membutuhkan waktu paling cepat 12 tahun. Tidak seperti unsur uranium 235 yang sudah tersaring dari limbah ini yang membutuhkan waktu 700 juta tahun.
Rencana Egois yang Ditentang Banyak Pihak
Dikutip dari laman Reuters, Operator pembangkit listrik Tokyo Electric Power (TEPCO) mengatakan jika pelepasan limbah akan dimulai pada hari Kamis pukul 13.03 waktu setempat. Meskipun persiapan berjalan mulus, sayangnya keputusan tersebut hingga saat ini masih ditentang oleh banyak pihak.
Rencana pembuangan limbah ini terus memicu kontroversi meskipun Jepang sudah mengklaim bahwa proses tersebut akan aman dan sudah didukung oleh Badan Nuklir PBB.
Dikutip dari laman Aljazeera, beberapa negara mulai mengeluh dan melarang kegiatan impor makanan laut dari Jepang. China menjadi salah satu negara yang paling vokal menyatakan jika rencana ini sangat egois dan melakukan pelarangan impor.
“Laut adalah milik bersama seluruh umat manusia, dan secara paksa membuang air limbah nuklir Fukushima ke laut adalah tindakan yang sangat egois dan tidak bertanggung jawab yang mengabaikan kepentingan publik internasional,” kata Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Pertentangan ini juga terjadi di Korea Selatan, Hongkong, dan Macau yang menghentikan makanan laut dari Jepang.
Dampak Jangka Panjang dari Limbah Fukushima
Jepang perlu waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengeluarkan limbah PLTN ke Samudera Pasifik. Meskipun sudah melalui proses yang aman, tetap bisa berdampak pada berbagai hal.
Dikutip dari laman NPR, menurut seorang ilmuwan senior Wood Hole Oceanographic, Ken Buesseler, kontaminan non-tritium yang terlewatkan oleh proses ALPS bisa saja menumpuk di dekat pantai seiring berjalannya waktu.
Ia juga menyatakan, hal ini dapat merugikan nelayan di daerah tersebut. Buesseler juga mengkhawatirkan negara lain akan mengikuti jejak Jepang untuk membuang limbah nuklir ke laut.
Penulis: Anna Novita Rachim
Editor: Nurul Huda