Tuturpedia.com – Keraton Kasunanan Surakarta menggelar acara Kirab Pusaka pada malam 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram di Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (19/7/2023).
Para abdi dalem dan sejumlah peserta Kirab melakukan prosesi upacara tradisi di dalam Keraton sebelum melaksanakan iring-iringan Kirab dengan sarana kebo bule. Setelah itu, dilakukan prosesi wilujengan oleh Raja Keraton Solo, Paku Buwono XIII.
Berdasarkan pantauan Tuturpedia, sebanyak ribuan orang ikut mengarak lima kebo bule dan benda pusaka berkeliling ke sejumlah titik dekat keraton. Selain itu, pihak kepolisian setempat juga ikut mengawal jalannya acara.
Sejarah
Piter (26), salah satu keturunan dari Paku Buwono IX, menceritakan sejarah kebo bule dan filosofi dari acara yang sangat meriah ini.
Konon, kebo bule ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo untuk Paku Buwono II sekitar abad ke-17 silam.
“Kerbau bule itu sendiri dari seorang Bupati di Jawa Timur yang dihadiahkan kepada Keraton Surakarta atau Keraton Solo ini,” katanya kepada Tuturpedia.com, Kamis (20/7/2023) dini hari.
Awalnya, sambung Piter, kebo bule ini akan disembelih dalam salah satu prosesi upacara.
“Sebenarnya, kerbau bule ini ditujukan untuk disembelih dalam upacara,” ucapnya.
Namun, nampaknya raja saat itu merasa iba dan lebih memilih untuk mengembangbiakkan kebo tersebut.
“Tapi, karena sang raja merasa sayang dan kasihan, maka diperanakpinakkan. Akhirnya, sampai sekarang ini kerbau itu masih lestari,” ujarnya.
Hingga saat ini, kerbau yang memiliki nama Kyai Slamet ini masih bisa dilihat oleh setiap orang.
Filosofi
Piter menjelaskan, acara Kirab Pusaka ini untuk memperingati tahun baru Jawa sekaligus tahun baru Islam.
“Ini dilakukan untuk menyambut tahun baru Jawa atau yang disebut dengan Satu Suro yang bertepatan dengan tahun baru Islam, Satu Muharram,” katanya.
Dalam rangka menyambut tahun baru, diperlukan langkah introspeksi diri dan refleksi diri. Langkah itu dilakukan dengan cara berjalan dengan berdiam diri.
“Jadi, ketika kita menyambut tahun baru Islam dan tahun baru Jawa ini, kita merefleksi diri dan mengintrospeksi diri dengan cara melaku, topo, bisu atau berjalan dengan berdiam diri,” ujarnya.
Introspeksi diri ini diharapkan dapat membantu memperbaiki kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik dan lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya.
“Maknanya, kita refleksi diri, kita muhasabah diri, dan kita introspeksi diri untuk membuka tahun dan lembaran yang baru,” tuturnya.*
Kontributor Jakarta: Al-Afgani Hidayat