Tuturpedia.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon kepala daerah bermasalah.
Dalam pertimbangannya, MA meminta KPU menghapus aturan dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.
Sehingga, saat ini seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur apabila berusia minimal 30 tahun dan calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota jika berusia minimal 25 tahun ketika dilantik, bukan ketika ditetapkan sebagai pasangan calon.
Hal ini menurut ICW merupakan upaya memuluskan jalan putra bungsu Jokowi, yakni Kaesang Pangarep untuk maju pilkada. Mengingat usia Kaesang saat ini baru berusia 29 tahun, yang berarti seharusnya tanpa perubahan aturan tersebut Kaesang tak dapat maju pilkada.
Berikut ini lima poin mengapa putusan MA bermasalah, menurut pandangan ICW dan PSHK:
1. Melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024, yakni mengotak-atik aturan terkait kandidasi yang terlalu berdekatan dengan periode pendaftaran bakal calon peserta pemilu.
Terlebih, perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode pilkada sekarang, sehingga menguntungkan anak Jokowi, Kaesang yang akan berusia genap 30 (tiga puluh) tahun pada Desember 2024.
Dengan demikian, seperti Putusan MK No. 90 kemarin yang menjadikan Gibran dapat berkontestasi di Pemilu 2024, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk melanggengkan dinasti Presiden Jokowi.
2. Ketentuan mengenai syarat usia minimum merupakan syarat administratif, yang harus dipenuhi pada masa pendaftaran sebelum pemilihan berlangsung.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 yang mengatur batasan usia minimal yang terhitung sejak penetapan pasangan calon adalah hal yang sudah tepat. Keberadaan substansi pasal dalam PKPU ini juga sudah sesuai dengan esensi dari Peraturan KPU yang memang perlu mengatur secara detail ketentuan pencalonan.
“Dengan demikian, menjadikan ketentuan mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak masa pelantikan calon terpilih adalah hal yang tidak berdasar dan mengada-ada,” tulis ICW dalam keterangan resminya, Sabtu (1/6/2024).
3. Putusan yang berdampak signifikan terhadap proses penyelenggaran Pilkada 2024 ini diputus dengan durasi yang sangat kilat. Ini berdampak pada pertimbangan hukum yang sangat tidak memadai karena ketiadaan deliberasi yang matang antar para hakim.
Apabila merujuk situs resmi MA, dapat dilihat bahwa perkara ini masuk ke MA pada tanggal 23 April 2024, didistribusikan kepada panel hakim yang akan memeriksa perkara pada tanggal 27 Mei 2024, untuk kemudian diputus pada tanggal 29 Mei 2024. Artinya, dapat dikatakan bahwa perkara ini hanya diputus dalam kurun waktu tiga hari.
4. Amar putusan MA janggal, sebab MA memaksakan untuk melakukan judicial activism dalam bentuk mengintervensi kewenangan KPU dalam membentuk regulasi namun tanpa disertai justifikasi yang memadai.
MA memberikan penafsiran atas ketentuan yang pada dasarnya tidak menimbulkan pelanggaran atas hak asasi manusia, tidak menimbulkan persoalan tata kelola kelembagaan negara yang dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, ataupun tidak menimbulkan kekosongan hukum atau tumpang tindih pengaturan.
5. Patut diduga putusan MA ini merupakan bentuk perdagangan pengaruh antara Partai Garuda selaku pemohon uji materi sekaligus partai pengusung Prabowo-Gibran di Pemilu 2024, dengan Presiden Joko Widodo ataupun dengan Prabowo Subianto.
Sebab, sehari sebelum putusan Nomor 23 P/HUM/2024 dibacakan, Sufmi Dasco Ahmad, selaku Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, menyatakan dukungannya kepada Budisatrio Djiwandono selaku keponakan Prabowo dan Kaesang Pangarep untuk turut serta sebagai calon peserta di Pilkada 2024 melalui akun media sosial pribadinya.
“Dengan jangka waktu yang sangat berdekatan tersebut, sulit untuk menampik bahwa besar potensi permohonan uji materi yang diajukan ke MA tersebut memang telah diorkestrasi sedemikian rupa sebelumnya demi kepentingan elektoral dua individu tersebut,” tutur ICW.***
Penulis: Angghi Novita.
Editor: Annisaa Rahmah.