Tuturpedia.com – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon kepala daerah menuai kritik, di antaranya dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
ICW dan PSHK mengatakan, perubahan ini adalah preseden buruk bagi Pemilu 2024, yang sengaja mengubah peraturan demi menguntungkan pihak tertentu.
Secara terang-terangan, ICW juga mengatakan, Putusan MA mengubah Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU 9/2020 bermasalah dan merupakan upaya melanggengkan dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan memuluskan jalan Kaesang Pangarep maju pilkada.
“Perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode pilkada sekarang menguntungkan anak Jokowi, Kaesang yang akan berusia genap 30 (tiga puluh) tahun pada Desember 2024. Dengan demikian, seperti Putusan MK No. 90 kemarin yang menjadikan Gibran dapat berkontestasi di Pemilu 2024, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk melanggengkan dinasti Presiden Jokowi,” bunyi keterangan ICW, Sabtu (1/6/2024).
Putusan MA mengubah ketentuan syarat usia, dari yang sebelumnya calon gubernur dan wakil gubernur berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon, menjadi berusia 30 tahun setelah pelantikan calon.
Amar putusan MA tersebut dinilai ICW sebagai putusan yang janggal. Sebab MA memaksakan untuk melakukan judicial activism dalam bentuk mengintervensi kewenangan KPU dalam membentuk regulasi. Namun, tanpa disertai justifikasi yang memadai.
Lembaga ini juga menduga putusan MA merupakan bentuk perdagangan pengaruh antara Partai Garuda selaku pemohon uji materi sekaligus partai pengusung Prabowo-Gibran di Pemilu 2024, dengan Presiden Joko Widodo ataupun dengan Prabowo Subianto.
Berdasarkan alasan tersebut, ICW dan PSHK mendesak:
1. Komisi Yudisial untuk mengawasi dan melakukan pengecekan terhadap putusan dan hakim MA yang memutus.
2. Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tidak masuk ke lubang yang sama seperti pada Pemilu 2024 dan menolak untuk mematuhi putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang jelas-jelas merupakan orkestrasi untuk menyukseskan dinasti politik Presiden Jokowi yang tidak landasan hukum yang memadai.
3. Partai Politik bersikap kritis dan tidak turut melanggengkan dinasti politik dengan tidak mencalonkan figur yang memiliki afiliasi kekerabatan dan kekeluargaan dengan Presiden dan pejabat negara lainnya dalam kontestasi pilkada.
4. Masyarakat untuk menentang secara masif keputusan dan manuver politik yang dilakukan semata-mata demi melanggengkan dinasti Presiden Joko Widodo.***
Penulis: Angghi Novita.
Editor: Annisaa Rahmah.