Tuturpedia.com – Intervensi pemerintah Inggris di pengadilan pidana internasional diperkirakan akan menunda keputusan apakah surat perintah penangkapan dapat dikeluarkan terhadap perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Pada Kamis (27/6/24) kemarin, ICC memutuskan bahwa Inggris diperbolehkan untuk mengajukan argumen hukum kepada hakim untuk mempertimbangkan permintaan jaksa Karim Khan pada Mei lalu atas pembuatan surat perintah penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant.
Dikutip dari laman The Guardian, Minggu (30/6/24) pada dokumen argumen hukum Inggris tersebut, Inggris berpendapat bahwa hakim yang mengadili kasus tersebut harus menjawab pertanyaan-pertanyaan “luar biasa” tentang yurisdiksi ICC atas warga negara Israel sebelum memutuskan apakah akan mengeluarkan surat perintah penangkapan.
ICC diketahui memiliki yurisdiksi di wilayah pendudukan Palestina sejak Februari 2021 yang lalu. Keputusan tersebut lah yang membuka jalan bagi kepala jaksa ICC sebelumnya untuk melakukan penyelidikan kriminal atas dugaan kekejaman di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Namun, bulan lalu pemerintah Inggris mengatakan di ruang pra-sidang ICC bahwa keputusan pada 2021 silam tersebut tidaklah menentukan masalah yurisdiksi yang berkaitan dengan perjanjian Oslo.
Sebagai informasi, Perjanjian Oslo merupakan perjanjian perdamaian sementara yang ditandatangani antara Organisasi Pembebasan Palestina dan Israel pada 1990-an.
Pemerintah Inggris berargumen bahwa Palestina tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidana terhadap warga negara Israel sesuai dengan perjanjian Oslo.
Argumen Inggris di ICC dianggap meresahkan
Argumen hukum Inggris ini sontak menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa pakar hukum internasional.
“Sangat meresahkan dan tidak adil,” kata Danya Chaikel, selaku perwakilan Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di ICC atas upaya Inggris untuk menantang yurisdiksi ICC dengan alasan perjanjian Oslo.
“Inggris tidak boleh memimpin tuntutan atas standar ganda dalam akses korban terhadap keadilan,” jelas Clive Baldwin, penasihat hukum senior di Human Rights Watch.
Para ahli hukum mengatakan jika intervensi Inggris bermotif politik dan upaya untuk membuka kembali masalah hukum yang menurut banyak orang telah diselesaikan sebelumnya.
Mereka juga mengatakan jika Inggris tampaknya lebih memprioritaskan hubungan diplomatik dibandingkan dengan pertanggungjawaban atas kejahatan internasional yang dilakukan Israel.
Selain itu, argumen yang dilontarkan pihak Inggris juga berupaya untuk mengatasi ketidakpatuhan Israel terhadap perjanjian Oslo, khususnya mengenai perluasan pemukiman di Tepi Barat.***
Penulis: Anna Novita Rachim
Editor: Nurul Huda