Jakarta, Tuturpedia.com – Praktik ‘kuota hangus’ yang selama ini dilakukan oleh operator telekomunikasi di Indonesia disebut sebagai “kejahatan ekonomi digital terbesar dalam sejarah Indonesia”. Senin, (17/11/2025).
Klaim mengejutkan ini dilontarkan oleh Indonesian Audit Watch (IAW) melalui Sekretaris Pendirinya, Iskandar Sitorus, dalam sebuah pernyataan pers dan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
IAW mendesak pemerintahan baru untuk segera menghentikan pembiaran terhadap praktik yang diklaim telah merugikan konsumen dan negara hingga Rp613 triliun dalam rentang waktu 2010-2025.
Dalih Teknis Runtuh Total
Selama lebih dari 15 tahun, industri telekomunikasi berdalih bahwa kuota harus hangus karena “terikat spektrum frekuensi”. Namun, IAW menepis keras alasan ini, menyebutnya kontradiktif secara teknis dan ekonomis.
“Token listrik berbasis frekuensi tidak hangus. E-money dan saldo e-wallet juga tidak hangus. Jadi, mengapa kuota harus hangus? Ini bukan soal teknis, ini soal model bisnis,” tegas Iskandar Sitorus.
Bukti Paling Kuat: Produk Anti-Hangus Operator Sendiri
Pernyataan IAW semakin kuat menyusul peluncuran produk anti-hangus oleh hampir seluruh operator dalam 12 bulan terakhir, seperti Terbaik Untukmu (Telkomsel), My Package (XLSmart), dan Freedom No Hangus (Indosat).
Menurut IAW, rilis produk-produk ini yang menggunakan frasa resmi “kuota tidak akan hangus” dan “Rollover” adalah bukti mutlak bahwa secara teknis, operator mampu membuat kuota tidak hangus.
“Ini adalah asas Estoppel: Jika Anda sekarang mengakui sesuatu bisa dilakukan, maka Anda tidak bisa berdalih bahwa dulu itu tidak mungkin,” kata Iskandar. “Perubahan kebijakan ini adalah bukti paling kuat bahwa kuota hangus adalah kebijakan bisnis yang disengaja.”
Kerugian Rp613 Triliun dan Potensi Korupsi
IAW menghitung, dengan asumsi konservatif 200 juta pelanggan dan 10% kuota hangus, kerugian publik dan negara dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp613 triliun.
Kerugian ini, menurut IAW, bukan hanya kerugian konsumen, tetapi juga kerugian negara, sebab PPN dihitung atas nilai penuh layanan yang tidak diberikan penuh.
IAW menduga praktik ini mengarah pada “Fraud by Omission” (penipuan dengan cara menyembunyikan informasi) karena operator tidak pernah mencatat nilai triliunan kuota hangus sebagai liabilitas (utang jasa) dalam laporan keuangan, berpotensi melanggar PSAK 23.
“Ini berpotensi memasuki Pasal 3 UU Tipikor, karena memperkaya korporasi dengan merugikan rakyat,” tegas IAW.
Seruan dan Solusi IAW
IAW mendesak Presiden Prabowo untuk bertindak cepat dan menunjukkan bahwa negara tidak lemah. Forum ini menawarkan solusi terstruktur, di antaranya:
1.Audit Investigatif BPK terhadap Kominfo, BRTI, dan operator 2010–2024.
Penerbitan Perppu Perlindungan Konsumen Digital yang memastikan kuota adalah hak milik digital.
2.Rollover wajib nasional dengan kompensasi otomatis.
Pembentukan Satgas Tipikor Digital (KPK–Kejagung) untuk menelisik potensi korupsi.
IAW menutup pernyataannya dengan seruan: “Jika negara terus membiarkan kuota rakyat musnah tanpa jejak, maka sejarah akan mencatat: Indonesia adalah negara yang melindungi operator, bukan konsumen. Saatnya negara menjawab. Kami yakin Presiden Prabowo mumpuni untuk menuntaskan hal itu!”
