Blora, Tuturpedia.com — Luka lama belum kering, aktivitas sumur minyak ilegal di Dukuh Gendono, Desa Gandu, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, kembali mencuat dan meresahkan. Belum genap 1000 hari tragedi kebakaran maut yang menewaskan lima warga, pengeboran ilegal diduga masih beroperasi, bahkan dengan pola distribusi yang terorganisir.
Masyarakat menduga minyak mentah dari Gendono dikirim ke Wonocolo melalui pihak yang diduga WRN (tanpa melewati Pertamina), padahal Delivery Order (DO) disebut-sebut ada BPE. Kamis, (30/10/2025).
Dugaan penggunaan jalur di luar prosedur resmi ini memicu kemarahan warga, yang menilai praktik ilegal ini telah mencederai rasa keadilan dan mengabaikan kematian korban.
“Dugaan minyak ini dikirim ke Wonocolo, kami menduga nama WRN dibalik layar pengambilan minyak disini. Dengan berbagai dalih membersihkan dan lain-lain. Kalau memang mau dibersihkan kan bisa kordinasi dengan stakeholder. Kami trauma!” ucap Jr, nama samaran warga setempat.
Harapan masyarakat,” lanjutnya kembali, “Pemkab jangan tutup mata dengan adanya kejadian yang ada di desa Gandu khususnya Dukuh Gendono.”
“Kalau masih ingat statement,” lanjut Jr kembali. “Bupati mau menutup sumur-sumur yang ada di area pemukiman.
“Tapi pada dasarnya dan realita di lapangan semua sumur yang kemarin ditutup kok bisa beroperasi lagi. Saya yakin nggak mungkin dengan adanya kegiatan ini Pemkab gak tahu atau pura-pura nggak tahu,” tandasnya.
Tragedi Diabaikan, Perputaran Uang Hampir Rp 1 Miliar
Warga setempat mengungkapkan bahwa aktivitas pengangkutan minyak ilegal ini sudah mencapai skala besar sejak insiden ledakan.
1. Skala Operasi: “Kui gandu sejak bar bledos kae. Wes luweh Soko 20 tangki ditambah wingi 3 tangki,” ujar warga, yang berarti dugaan total 23 tangki telah diangkut.
Nilai Fantastis: Dengan taksiran harga jual Rp 42 juta per tangki, total uang yang berputar dari 23 tangki mencapai Rp 966 Juta.
2. Ironi Sosial: Mirisnya, masyarakat menegaskan, “Warga Yo GK Ono seng dikei duit.(Warga tidak ada yang diberi uang),” menunjukkan hanya segelintir pihak yang meraup keuntungan besar.
Para pelaku diduga menggunakan dalih “rembesan” untuk memuluskan kegiatan ini, padahal rembesan yang sebenarnya tidak mungkin mencapai puluhan ton.
Tiga Tuntutan Mendesak Warga Gendono
Masyarakat Gendono meminta APH dan pemerintah mengevaluasi total kegiatan ini. Mereka menuntut keadilan, pemulihan lingkungan, dan penghentian praktik adu domba:
1. Pemulihan Trauma dan Lingkungan: Trauma masyarakat belum sembuh. Dampak lingkungan sangat parah, mulai dari sumber mata air yang tercemar hingga sawah yang terkena limbah dan tidak bisa ditanami.
2. Hentikan Kambing Hitam: Warga menolak keras dijadikan “kambing hitam” dengan klaim bahwa masyarakat berbondong-bondong ingin mengebor. Mereka merasa menjadi korban janji manis dari Kepala Desa dan pengurus.
3. Kembalikan Kedamaian: “Saya sebagai masyarakat pengen desa Gandu khususnya Gendono bisa seperti dulu lagi, sejuk, nyaman, dan damai.”
Mengenang 5 Korban Jiwa: Tuntutan Kemanusiaan
Desakan untuk menindak tegas praktik ilegal ini adalah bentuk penghormatan terakhir bagi lima korban jiwa yang tewas dalam kebakaran tragis pada Minggu (17/8) dan berlangsung selama tujuh hari:
1. Tanek (meninggal di lokasi, 17/8)
2. Wasini (meninggal 18/8, luka bakar 90%)
3. Sureni (meninggal 18/8, luka bakar 90%)
4. Yeti (istri Sukrin, meninggal 23/8, di RSUP dr. Sardjito)
5. Abu Dhabi (2 tahun, meninggal 11/8, di RSUP dr. Sardjito)
Masyarakat Gendono berharap APH segera bergerak, memutus mata rantai distribusi ilegal, dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat, baik di lapangan maupun di balik meja, yang terus mencari keuntungan di atas penderitaan dan nyawa warga.
