Blora, Tuturpedia.com – Kasus dugaan salah tangkap pelaku pembuangan bayi yang disertai pemeriksaan intim paksa hingga merusak organ intim korban menuai kecaman keras dari Dewi Nur Halimah, tokoh aktivis perempuan sekaligus penulis asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Kepada awak media, Sabtu (20/12/2025), Dewi Nur Halimah menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukanlah kesalahan prosedur biasa, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang serius, sistemik, dan berlapis.
“Polisi itu aparat penegak hukum. Suatu kesalahan fatal ketika melakukan cacat hukum berupa salah tangkap hingga menciptakan korban baru,” tegas Halimah, sapaan akrabnya.
Ia menilai, salah tangkap yang diikuti pemeriksaan intim secara paksa tidak hanya melukai fisik korban, tetapi juga menghancurkan martabat, kehormatan, dan hak dasar seorang perempuan.
Menurutnya, tindakan tersebut mencederai prinsip keadilan serta merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Pihaknya juga menekankan, sebagai bentuk tanggung jawab institusional untuk menjaga marwah Polri dan memulihkan kepercayaan masyarakat, aparat penegak hukum harus berani menghukum tegas seluruh oknum yang terlibat.
“Harus ada keberanian menghukum, bukan menutup kasus dengan damai. Yang harus bertanggung jawab bukan hanya polisi yang menangkap, tetapi juga yang mengkomando penangkapan, pihak yang melaporkan dan memfitnah korban sebagai pelaku, serta tenaga medis yang melakukan pemeriksaan intim paksa,” ujarnya.
Dirinya juga menuturkan bahwa pelanggaran salah tangkap tidak bisa disederhanakan dengan jalan damai apalagi dengan nilai kompensasi Rp50 juta. Dan, menegaskan angka tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap kehormatan perempuan.
“Tidak bisa cuma damai Rp50 juta. Itu terlalu murah untuk kehormatan dan luka seumur hidup seorang perempuan. Korban berhak atas keadilan, bukan sekadar uang tutup mulut,” jelasnnya.
“Jadi kasus ini membuka ruang pertanggungjawaban hukum yang luas, mulai dari pidana umum, sidang kode etik Polri, hingga gugatan perdata berupa ganti rugi kepada korban,” jelasnya kembali.
Lebih lanjut, Ia juga kembali turut mengkritisi sikap pemerintah daerah, dimana meminta jajaran Pemda, termasuk Bupati serta Wakil Bupati Blora, tidak ikut mendorong penyelesaian damai, melainkan berdiri di barisan penegakan hukum.
“Pemda seharusnya tegas mendukung penegakan hukum demi mengembalikan marwah polisi, bukan membenarkan jalan damai. Hukum harus tegak, tidak tumpul ke atas dan lancip ke bawah,” pungkasnya.
Kasus ini pun dinilai sebagai ujian serius bagi komitmen negara dalam melindungi hak asasi perempuan serta memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip keadilan dan kemanusiaan.













