Jakarta, Tuturpedia.com — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai investasi masa depan generasi, kini berbalik menjadi sorotan tajam setelah serangkaian kasus keracunan makanan massal yang terus bertambah di berbagai daerah. Selasa, (30/09/2025).
Di balik tujuan mulia untuk mengatasi stunting dan meningkatkan gizi, terkuak dugaan adanya perebutan ‘dapur’ penyedia makanan yang sarat akan ambisi keuntungan bisnis, bahkan dengan mengorbankan standar kebersihan dan keamanan pangan anak-anak.
Insiden tragis di beberapa kabupaten yang bahkan sampai ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) menjadi bukti nyata kegagalan pengawasan. Sumber masalah utamanya mengerucut pada mata rantai pasok yang diduga didominasi oleh pihak-pihak yang lebih berorientasi pada efisiensi biaya maksimal demi meraup profit besar dari anggaran triliunan rupiah.
Perang Kontrak di Balik Dinding Dapur
Hal tersebut disampaikan oleh Sulistya, salah satu pengamat MBG, yang menuturkan bahwa banyaknya laporan mengindikasikan bahwa dapur-dapur mitra yang seharusnya menjadi “benteng gizi”, justru menjadi arena perebutan kontrak.
“Para pebisnis besar dan kecil berbondong-bondong masuk, melihat program MBG sebagai pasar captive dengan permintaan harian yang terjamin,” ucapnya.
Lebih lanjut, pihaknya mengatakan bahwa alih-alih melibatkan UMKM lokal yang berkomitmen pada kualitas, justru dugaan praktik lelang terselubung atau penunjukan mitra dengan koneksi kuat memicu masalah mendasar:
1. Potongan Harga Bahan Baku: Adanya tekanan untuk menyediakan porsi dengan harga sekecil mungkin per paket. Hal ini mendorong mitra menggunakan bahan baku murah, tidak segar, atau melewati batas kadaluarsa, seperti yang ditemukan dalam sidak kasus keracunan di mana ada temuan ayam yang tidak layak konsumsi.
2. Abaikan Sterilitas: Standar higienitas yang ketat sering kali diabaikan demi kecepatan produksi massal. Minimnya pelatihan sanitasi dan pengawasan mendalam terhadap proses memasak membuat makanan rentan terkontaminasi bakteri berbahaya,” jelasnya.
Anak Jadi Korban ‘Bisnis Cepat Kaya’
Ironisnya, lanjutnya kembali, saat para pengusaha bersorak atas keuntungan yang didapat dari suplai pangan, ribuan murid harus dilarikan ke puskesmas karena gejala keracunan.
“Saya pernah berbincang dengan Kepala Puskesmas di salah satu daerah yang terkena dampak keras bahkan mengakui bahwa insiden ini “bukan persoalan biasa” dan mendesak investigasi pidana terhadap pemasok yang lalai,” bebernya.
Pemerintah dituntut untuk segera mereformasi total sistem kemitraan MBG.
Dirinya, juga menambahkan jika program ini benar-benar bertujuan untuk membangun Sumber Daya Manusia Unggul, maka keselamatan anak harus berada di atas kalkulasi laba perusahaan.
“Tidak cukup hanya dengan menghentikan sementara program di beberapa sekolah; diperlukan transparansi penuh dalam proses tender, standar audit mutu yang tidak bisa ditawar, dan sanksi tegas bagi para “pemburu kontrak” yang menjadikan kesehatan generasi penerus bangsa sebagai komoditas bisnis,” tegasnya.
Penulis: Lilik Yuliantoro || Editor: Permadani T.