Blora, Tuturpedia.com – Kasus dugaan salah tangkap pelaku pembuangan bayi yang disertai pemeriksaan intim paksa hingga merusak organ intim korban terus menuai kecaman keras.
Tokoh aktivis perempuan sekaligus penulis asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Dewi Nur Halimah, menegaskan bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang tidak bisa disederhanakan sebagai kesalahan prosedur.
Kepada awak media, Sabtu (20/12/2025), Dewi menilai kasus ini sarat kejahatan hukum yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan banyak pihak, namun hingga kini belum terlihat pembahasan serius terkait sanksi terhadap oknum-oknum yang terlibat.
“Ini belum menyentuh soal pertanggungjawaban hukum. Padahal ada banyak pihak yang harus dimintai sanksi, mulai dari polisi yang mengkomando penangkapan, polisi yang melakukan salah tangkap, pihak yang memfitnah korban, hingga bidan yang melakukan pemeriksaan paksa,” tegas Halimah, sapaan akrabnya.
Menurutnya, pemeriksaan genital yang dilakukan tanpa persetujuan korban, tanpa indikasi medis, serta disertai unsur paksaan dan kekerasan, merupakan bentuk kekerasan seksual yang jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Dalam UU TPKS, tindakan tersebut sudah dikualifikasikan sebagai kekerasan seksual, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa, yakni aparat kepolisian dengan melibatkan tenaga kesehatan. Ini ancaman pidana berlapis,” jelasnya.
Dewi menegaskan bahwa penggunaan kewenangan negara untuk melakukan pemeriksaan intim paksa terhadap perempuan tanpa dasar hukum dan medis merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sangat serius. Dan, justru seharusnya menjadi pelindung, bukan pelaku kekerasan.
Dirinya, juga menyoroti peran bidan yang melakukan pemeriksaan genital secara paksa. Menurutnya, tenaga kesehatan tidak bisa berlindung di balik perintah aparat, karena kode etik dan hukum tetap mengikat secara profesional dan pidana.
“Bidan yang melakukan pemeriksaan genital tanpa persetujuan korban jelas melanggar kode etik profesi. Konsekuensinya bisa pidana, pencabutan STR atau SIP, hingga sanksi etik dari organisasi profesi,” ujarnya.
Lebih jauh, ia berharap kasus ini menjadi cambuk keras bagi aparat penegak hukum dan tenaga kesehatan agar tidak bertindak sewenang-wenang atas nama penegakan hukum.
“Perempuan bukan objek pemeriksaan paksa. Tubuh perempuan bukan alat pembuktian yang bisa diperlakukan semena-mena. Jika ini dibiarkan, maka negara sedang membiarkan kekerasan seksual dilakukan oleh aparatnya sendiri,” pungkasnya.
Kasus ini dinilai sebagai ujian serius bagi komitmen penegakan hukum, perlindungan HAM, serta keberpihakan negara terhadap korban, khususnya perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis kekuasaan.
Jadi, sekali lagi saya menegaskan harus ada
sanksi buat bidan dan oknum polisi yang mengkomando untuk ditangkap, yang laporan dugaan ternyata fitnah, yang melakukan penangkapan tanpa prosedur. Hukum harus tegak, menegakkan supremasi hukum. Tidak bisa dibeli, sehingga kepercayaan masyarakat ke kepolisian meningkat. Bukan justru menurun,” tandasnya.
