Jakarta, Tuturpedia.com — Tragedi masakan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan ratusan siswa muntah dan tergeletak di sekolah bukanlah sekadar isu dapur kotor biasa. Indonesian Audit Watch (IAW) menegaskan, kasus keracunan massal yang berulang ini adalah alarm kegagalan sistemik dari hulu ke hilir yang menuntut pertanggungjawaban hukum, dari vendor pelaksana hingga pejabat pengawas.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, dalam analisisnya mendesak aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, segera bergerak cepat. Kasus ini, menurutnya, harus diusut tuntas hingga ke jerat pidana untuk menciptakan efek jera. Minggu, (29/09/2025)
Toksin Cepat dan Jejak Kelalaian di Dapur SPPG
IAW menyoroti kecepatan gejala (onset cepat) yang dialami korban, yaitu muntah dalam hitungan menit hingga jam. Menurut literatur epidemiologi, hal ini kuat mengarah pada paparan enterotoksin Staphylococcus aureus, racun yang sangat berbahaya dan tidak mati meski makanan digoreng ulang.
“Artinya, ini bukan sekadar ‘salah makan pedas’ atau nasi basi biasa, melainkan paparan toksin yang serius, yang menjadi indikasi kuat adanya kegagalan kritis dalam proses penyiapan atau penyimpanan makanan,” tegas Iskandar.
Untuk membuktikan hal ini, IAW mendesak penyidik untuk segera mengamankan dan menguji:
1. Sampel makanan dan muntahan korban untuk uji mikrobiologi dan toksin.
2.Audit Dapur SPPG secara rinci, termasuk sanitasi, suhu penyimpanan (cold chain), hingga catatan suhu saat memasak (core cooking temperature).
Rantai Tanggung Jawab yang Putus: Siapa Saja yang Bisa Dijerat?
Analisis IAW memetakan secara rinci titik-titik kelalaian di sepanjang rantai produksi, dari pengadaan bahan hingga konsumsi, sekaligus pihak yang harus bertanggung jawab.
1. Vendor/Pelaksana SPPG
Pihak ini, termasuk manajer operasional dan kepala dapur, menjadi sasaran utama jerat Pasal 14 UU Pangan tentang produksi pangan berbahaya, hingga Pasal 359-360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka. Kelalaiannya bisa meliputi memasak tidak mencapai suhu aman, menyimpan makanan matang terlalu lama di suhu ruang, atau menggunakan bahan baku yang sudah melewati batas layak.
2. Pejabat Pengawas Daerah/Dinas
Mereka yang gagal melakukan inspeksi rutin, membuat kontrak pengadaan yang longgar, atau bahkan menutup mata terhadap pelanggaran, berpotensi dijerat pidana karena “turut serta” dalam kelalaian sesuai Pasal 55 KUHP. Jika terbukti ada suap atau gratifikasi dalam kontrak, maka jerat UU Tipikor menanti.
3. Kerugian Negara
IAW mengingatkan, seluruh biaya pengobatan massal yang ditanggung BPJS dan APBD adalah kerugian negara yang nyata. Vendor yang lalai harus ditagih balik melalui mekanisme subrogasi dan gugatan perdata sesuai Pasal 1365 KUHPerdata.
Efek Jera Tak Boleh Lenyap!
IAW memberikan rekomendasi mendesak kepada pihak-pihak terkait:
1. Polisi
“Segera tetapkan tersangka dari vendor dan pejabat yang lalai. Amankan bukti krusial seperti log suhu dan faktur pembelian bahan. Jangan mendiamkan kasus ini,” ujar Iskandar Sitorus.
2. Pemerintah Daerah & BGN
Wajibkan sertifikasi HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) untuk semua dapur SPPG, dan segera cabut kontrak vendor nakal. Bangun database vendor nasional yang terintegrasi.
3. Publik/Orang Tua
Dorong class action bila kerugian korban bersifat massal, dan aktif mencatat gejala serta menyimpan bukti makanan saat insiden terjadi.
“Program MBG ini adalah amanah Presiden untuk anak bangsa, tak boleh dibayar dengan muntah massal akibat kelalaian segelintir orang. Jika pelaku dipidana, pejabat ikut bertanggung jawab, dan kerugian negara ditagih balik, barulah timbul efek jera!” tutup Iskandar Sitorus.
Penulis: Lilik Yuliantoro || Editor: Permadani T.