Indeks
News  

Bukan Bunuh Diri, Pakar Sebut Sekeluarga yang Loncat dari Lantai 22 Apartemen di Penjaringan Ada Unsur Pembunuhan 

Pakar menyebut kasus sekeluarga loncari dari lantai 22 apartemen ada unsur pembunuhan. Foto: pixabay.com/rebcenter-moscow
Pakar menyebut kasus sekeluarga loncari dari lantai 22 apartemen ada unsur pembunuhan. Foto: pixabay.com/rebcenter-moscow

Tuturpedia.com – Kasus satu keluarga bunuh diri dengan cara loncat dari lantai 22 apartemen di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara menurut pakar terdapat unsur pembunuhan. 

Dikutip Tuturpedia.com, Rabu (13/3/2024), kasus satu keluarga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 22 apartemen di Jakarta Utara pada Sabtu (9/3/2024) masih menyisakan misteri, apalagi terkait korban anak yang tewas dalam insiden tersebut. 

Adapun identitas keempat korban di antaranya AI (52), EA (50), JL (15), dan JW (13). Indikasi adanya unsur pembunuhan pun menguak. 

Menurut Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, kasus satu keluarga loncat dari lantai 22 apartemen dapat dikatakan bunuh diri bersama-sama jika penyidik dapat memastikan bahwa setiap anggota tersebut sepakat untuk mengakhiri hidup. 

“Terus terang saya tidak begitu nyaman dengan kosakata yang tadi digunakan, oleh justru pihak kepolisian sendiri yang mengatakan ini adalah motif maaf ini, ya, motif menghabisi diri sendiri,” ungkap Reza Indragiri Amriel. 

Reza tidak sependapat dengan pernyataan polisi yang mengatakan jika kasus ini murni bunuh diri.  

“Saya tidak sepakat dengan penggunaan kosakata itu. Pertama kita baru bisa mengatakan bahwa satu keluarga ini melakukan aksi fatal secara bersama-sama,  kalau kita bisa yakinkan bahwa pada masing-masing orang ada kemauan dan antar mereka ada kesepakatan. Jadi aksinya bisa disebut sebagai sebuah aksi yang konsensual, konsensus gitu, ya, baru bisa dikatakan ini aksi fatal yang dilakukan bersama-sama oleh satu keluarga,” lanjutnya. 

Persoalan dari kasus ini ialah ada dua anak yang pada peristiwa tersebut harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju. Karenanya tindakan tersebut tidak ada unsur konsensual, maka dalam kasus ini, anak-anak dipaksa mengakhiri hidup. 

“Keberadaan anak-anak dalam situasi yang menyedihkan sekaligus menakutkan itu justru sebaliknya, bahwa ini bukan kemauan mereka dan anak-anak itu tidak memberikan kesepakatan, tidak masuk dalam sebuah konsensus untuk melakukan aksi sedemikian rupa,” imbuhnya. 

Dengan kata lain, menurut Reza Indragiri Amriel, anak dipaksa melompat, mereka justru termasuk korban pembunuhan.

“Penggunaan kata kehendak dan kesepakatan tidak lagi relevan, anak bergeser posisinya yaitu menjadi sekumpulan manusia yang dipaksa, yang diharuskan dan tidak diberikan ruang untuk keluar dari situasi yang amat sangat berbahaya itu,” jelas Reza.

Lebih lanjut, Reza menjelaskan jika dalam kasus tersebut, bukan termasuk peristiwa tunggal namun peristiwa majemuk. Di mana terhadap orang tua yang tewas dalam peristiwa itu memang termasuk dalam kasus bunuh diri. 

“Saya katakan tadi berarti ini bukan peristiwa tunggal yaitu peristiwa menghabisi diri sendiri, tetapi ini merupakan peristiwa majemuk terhadap dua orang yang tewas dalam peristiwa tersebut masuk akal. Kalau kemudian polisi menyebutnya ini, mereka melakukan aksi yang sedemikian berbahaya sampai menewaskan diri mereka,” ujarnya. 

Namun, tidak demikian dengan anak-anak yang meninggal dalam kasus tersebut justru merupakan korban pembunuhan. 

“Terhadap anak sekali lagi karena kita gugurkan kehendak dan kesepakatan, kita yakini bahwa mereka berada dalam situasi keterpaksaan mereka justru adalah korban. Korban apa? Korban pidana, korban pembunuhan,” pungkasnya. 

Catatan:

Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk mengakhiri hidup, segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.***

Penulis: Niawati.

Editor: Annisaa Rahmah.

Exit mobile version